Minggu, 31 Mei 2015

Masyarakat madani


Nama : Yulia Meta Arpani
Class : TBI A – 12 104 026


 
A.     Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani merupakan masyarakat yang menjadi impian dari semua orang. Hal ini dikarenakan kehidupan dalam masyarakat madani yang beradab dalam membangun, menjalani dan mampu. Untuk pertama kali istilah Masyarakat Madani dimunculkan oleh Anwar Ibrahim mantan wakil perdana menteri Malaysia. Menurut Anwar Ibrahim, sebagaimana dikutip Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Inisiatif dari individu dan masyarakat akan berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu. Ibrahim juga menyebutkan definisi negatif dengan melukiskan keadaan manusia yang bertentangan dengan ciri-ciri Masyarakat Madani. Lebih lanjut ia mengatakan
Kemelut yang diderita umat manusia seperti meluasnya keganasan, sikap melampaui dan tidak tasamuh kemiskinan dan kemelaratan ketidakadilan dan kebejatan sosial. Kejahilan, kelesuan intelektual serta kemuflisan budaya adalah manifestasi kritis masyarakat madani. Kemelut ini kita saksikan di kalangan masyarakat Islam, baik di Asia maupun afrika, seolah-olah umat terjerumus kepada satu kezaliman; kezaliman akibat kediktatoran atau kezaliman yang timbul dari runtuhnya atau ketiadaan order politik serta peminggiran rakyat dari proses politik.
Mengacu pada definisi ideal dan kondisi berlawanan Masyarakat Madani, menurut Ibrahim, masyarakat sipil di kawasan Asia dan Afrika masih jauh dari ciri-ciri ideal Masyarakat Madani. Masyarakat sipil di belahan dunia ini masih berkutat dengan kemiskinan, ketidakadilan ketiadaan tatanan, peminggiran politik dan kentalnya budaya tidak toleran. Dari kesimpulan Ibrahim, nampak sekali cita ideal masyarakat sipil yang hendak ia rumuskan masih bersumber pada realitas social masyarakat sipil di dunia Barat. Menurut Anwar Ibrahim, masyarakat madani mempunyai ciri-cirinya yang khas: kemajemukan budaya (multicultural), hubungan timbal balik (reprocity), dan sikap saling
memahami dan menghargai. Lebih lanjut Anwar Ibrahim menegaskan bahwa karakter Masyarakat madani ini merupakan "guiding ideas", meminjam istilah Malik Bennabi, dalam melaksanakan ide-ide yang mendasari masyarakat madani, yaitu prinsip moral, keadilan, keseksamaan, musyawarah dan demokrasi.
Sejalan dengan gagasan Anwar Ibrahim, Dawam Rahardjo mendefinisikan masyarakat madani sebagai proses penciptaan peradaban yang mengacu kepada nilai-nilai kebijakan bersama. Menurutnya, dalam masyarakat madani, warga Negara bekerja sama membangun ikatan sosial, jaringan produktif dan solidaritas kemanusian yang bersifat non-negara. Selanjutnya Dawam menjelaskan, dasar utama dari masyarakat madani adalah persatuan dan integrasi sosial yang didasarkan pada suatu pedoman hidup, menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan yang menyebabkan perpecahan dan hidup dalam suatu persaudaraan.
Sejalan dengan ide-ide di atas, menurut Azyumardi Azra, masyarakat madani lebih dari sekedar gerakan pro-demokrasi, karena ia juga mengacu pada pembentukan masyarakat berkualitas dan ber-tamadun (civility). Sejalan dengan pandangan di atas, Nurcholish Madjid menegaskan bahwa makna masyarakat madani berakar dari kata "civility" yang mengandung makna toleransi, kesediaan pribadi-pribadi untuk menerima pelbagai macam pandangan politik dan tingkah laku sosial.

B.    Sejarah Pemikiran Masyarakat Madani
Adalah filsuf Yunani Aristoteles (384-322 SM) yang memandang civil society sebagai sistem kenegaraan atau identik dengan negara itu sendiri. Pandangan ini merupakan fase pertama sejarah wacana civil society. Tentu saja pandangan ini telah berubah sama sekali dengan rumusan civil society yang berkembang dewasa ini, yakni masyarakat sipil di luar dan penyeimbang lembaga negara. Mazhab pandangan Aristoteles selanjutnya dikembangkan oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), Thomas Hobbes (1588-1679 SM) dan John Locke (1632-1704 SM).
Pada masa Aristoteles civil society dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politikdan pengambilan keputusan. Istilah koinonia politike yang dikemukakan oleh Aristoteles ini digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum. Hukum sendiri dianggap etos, yakni seperangkat nilai yang disepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur politik, tetapi juga sebagai substansi dasar kebijakan dari berbagai bentuk interaksi di antara warga negara.
Berbeda dengan Aristoteles, Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) menamakannya dengan societies civilies, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas yang lain. Istilah yang digunakan Cicero lebih menekankan pada konsep negara kota (city-state), yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota dan bentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan yang terorganisir. Rumusan Cicero ini lebih menekankan pada konsep civility atau kewargaan di satu pihak dan urbanity yakni budaya kota di lain pihak. Kota, dalam pengertian itu, bukan hanya sekedar sebuah konsentrasi penduduk, tetapi sebagai pusat kebudayaan dan pusat pemerintahan.
Rumusan civil society selanjutnya dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679 M) dan John Locke (1632-1704), yang memandangnya sebagai kelanjutan dari evolusi natural society. Menurut Hobbes, sebagai entitas negara civil society mempunyai peran untuk meredam konflik dalam masyarakat sehingga ia harus memiliki kekuasaan mutlak, sehingga ia mampu mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi (prilaku politik) setiap warga negara.
Berbeda dengan Hobbes, menurut John Locke, kehadiran civil soci ety adalah untuk melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara. Mengingat sifatnya yang demikian itu, civil society tidaklah absolut dan harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak bisa dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi bagi warga negara untuk memperoleh haknya secara adil dan proporsional.
Fase kedua, pada tahun 1767 Adam Ferguson mengembangkan wacana civil society dengan konteks sosial dan politik di Skotlandia. Berbeda dengan pendahulunya, Ferguson lebih menekankan visi etis pada civil society dalam kehidupan sosial. Pemahamannya ini lahir tidak lepas dari pengaruh dampak revolusi industri dan kapitalisme yang melahirkan ketimpangan sosial yang mencolok.
Menurut Ferguson, ketimpangan sosial akibat kapitalisme harus dihilangkan, la yakin bahwa publik secara alamiah memiliki spirit solidaritas sosial dan sentimen moral yang dapat menghalangi munculnya kembali despotisme. Kehawatiran Ferguson atas semakin menguatnya sikap individulistis dan berkurangnya tanggungjawab sosial masyarakat mewarnai pandangannya tentang civil society pada fase ini.
Fase ketiga, berbeda dengan pendahulunya, pada 1792 Thomas Paine mulai memaknai wacana civil society sebagai sesuatu yang berlawanan dengan lembaga Negara, bahkan ia dianggap sebagai antitesa negara. Bersandar pada paradigma ini, peran negara sudah saatnya dibatasi. Menurut pandangan ini negara tidak lain hanyalah keniscayaan buruk belaka. Konsep negara yang absah, menurut mazhab ini, adalah perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan bersama. Semakin sempurna sesuatu masyarakat sipil, semakin besar pula peluangnya untuk mengatur kehidupan warganya sendiri.
Menurut Paine terdapat batas-batas wilayah otonom masyarakat sehingga negara tidak diperkenankan memasuki wilayah sipil. Dengan demikian, menurut Paine, civil society adalah ruang di mana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas tanpa paksaan.
C.      Karakteristik Masyarakat Madani
Karakteristik dalam masyarakat yang madani :
1. Free public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, yaitu berhak dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik. Sebagai sebuah prasayarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatan masyarakat, maka free public sphere menjadi salah satu bagian yang harus dipenuhi, karena akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga Negara dalam menyalurkan aspirasinya.

2. Demokratisasi, yaitu proses dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya. Demokrasi merupakan prasyarat yang banyak dikemukakan oleh para pakar. Dan demokrasi merupakan salah satu syarat mutlak bagi penegakan masyarakat madani. Penekanan demokratis disini dapat mencakup bentuk aspek kehidupan, seperti social, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya.

3. Toleransi, yaitu sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang/kelompok lain. Toleransi memungkinkan adanya kesadaran untuk menghargai serta menghormati pendapat yang dikemukakan oleh kelompok lainnya yang berbeda. Azyumardi juga menyebutkan bahwa masyarakat madani bukan hanya sekedar gerakan-gerakan pro demokrasi. Masyarakat ini mengacu juga pada yang berkualitas dan civility.civilitas yakni kesediaan induvidu – individu untuk menerima pandangan – pandangan politik dan sikap social  yang berbeda – beda.

4. Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang majemuk disertai dengan sikap tulus. Menurut Nurcholis Madjid, konsep inimerupakan prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani. Menurutnya pluralism yaitu pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan – ikatan keadaban
(genuine engagement ofdiversities within the bonds of civility). Bahkan juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check and balance).

5. Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap lingkungannya. Keadilan dimaksud untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proposional terhadap hak dan kewajiban setiap warga Negara. Secara esensial, masyarakat memiliki hak yang sama dalm memperoleh kebijakan – kebijakan yang ditetapkan oleh penguasa ( pemerintah).

6. Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain.

7. Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan.

8. Sebagai pengembangan masyarakat melalui upaya peningkatan pendapatan dan pendidikan. 

9. Sebagai advokasi bagi masyarakt yang teraniaya dan tidak berdaya membela hak-hak dan kepentingan.

10. Menjadi kelompok kepentingan atau kelompok penekan.

11. Pilar Penegak Masyarakt Madani
Pilar penegak masyarakat madani adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari social control yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Dalam penegakan masyarakat madani, pilar-pilar tersebut menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya kekuatan masyarakat madani. Pilar-pilar tersebut yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pers, Supremasi Hukum, Perguruan Tinggi dan Partai Politik.


D.      Masyarakat Madani di Indonesia

Masyarakat madani muncul sebagai reaksi terhadap pemerintahan militeristik yang dibangun oleh rezim Orde Baru selama 32 tahun. Bangsa Indonesia berusaha untuk mencari bentuk masyarakat madani yang pada dasarnya adalah masyarakat sipil yang demokrasi dan agamis/religius. Dalam kaitannya pembentukan masyarakat madani di Indonesia, maka warga negara Indonesia perlu dikembangkan untuk menjadi warga negara yang cerdas, demokratis, dan religius dengan bercirikan imtak, kritis argumentatif, dan kreatif, berfikir dan berperasaan secara jernih sesuai dengan aturan, menerima semangat Bhineka Tunggal Ika, berorganisasi secara sadar dan bertanggung jawab, memilih calon pemimpin secara jujur-adil, menyikapi media massa secara kritis dan objektif, berani tampil dan kemasyarakatan secara profesionalis,berani dan mampu menjadi saksi, memahami daerah Indonesia saat ini, mengenal cita-cita Indonesia di masa mendatang dan sebagainya.
Masyarakat madani adalah suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemandirian aktivitas warga masyarakatnya yang berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama, dengan mewujudkan dan memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan (persamaan), penegakan hukum, jaminan kesejahteraan, kebebasan, kemajemukan (puralisme), dan perlindungan terhadap kaum minoritas.Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kekhasan sosial-budaya. Merupakan fakta historis bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat majmuk, yang terdiri dari beragam suku, budaya, bahasa dan agama. Masing-masin suku, budaya dan bahasa memiliki satu sistem nilai yang berbeda. Kemajemukan ini akan menjadi bencana dan konflik yang berkepanjangan jika tidak dikelola dengan baik.Kebhinekaan dan kearifan budaya lokal inilah yang harus dikelola sehingga menjadi basis bagi terwujudnya masyarakat madani, karena masyarakat madani Indonesia harus dibangundari nilai-nilai yang ada didalamnya, bukan dari luar. Dengan demikian, menurut Tilaar ciri-ciri khas masyarakat madani Indonesia adalah a). Keragaman budaya sebagai dasar pengembangan identitas bangsa Indonesia dan identitas nasional, b). Adanya saling pengertian di antara anggota masyarakat, c). Adanya toleransi yang tinggi, dan d). Perlunya satu wadah bersama yang diwarnai oleh adanya kepastian hukum.
Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru karena adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan. Kebijakan pemerintah yang otoriter, menyebabkan organisasi-oranisasi kemasyarakatan tidak memiliki kemandirian, tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap jalanya pemerintahan.Kebijakan ini juga berlaku terhadap masyarakat politik (political societies), sehingga partai-partai politik pun tidak berdaya melakukan kontrol terhadap pemerintah dan tawar-menawar dengannya dalam menyampaikan aspirasi rakyat.  Hanya ada beberapa organisasi keagamaan yang memiliki basis sosial besar yang agak memiliki kemandirian dan kekuatan dalam mempresentasikan diri sebagai unsur dari masyarakat madani, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah dengan motor Prof.  Dr. Amien Rais.  Pemerintah sulit untuk melakukan intervensi dalam pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut karena mereka memiliki otoritas dalam pemahaman ajaran Islam.  Pengaruh politik tokoh dan organisasi keagamaan ini bahkan lebih besar daripada partai-partai politik yang ada.
Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi telah mempopulerkan konsep masyarakat madani karena presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan, Presiden Habibie telah membentuk satu tim, dengan Keputusan Presidan Republik Indonesia, Nomor 198, tentang Pembentukan Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani. Tim tersebut diberi tugas untuk membahas masalah-masalah pokok yang harus disiapkan untuk membangun masyarakat madani Indonesia, yaitu di antaranya: Pertama, menghimpun tentang transformasi ekonomi, politik , hukum, sosial dan budaya serta pemikiran dampak globalisasi terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa. Kedua, merumuskan rekomendasi serta pemikiran tentang upaya untuk mendorong transformasi bangsa menuju masyarakat madani. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi. Soeharto terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 oleh tekanan dari gerakan Reformasi yang sudah bosan dengan pemerintahan militer Soeharto yang otoriter.  Gerakan Reformasi didukung oleh negara-negara Barat yang menggulirkan konsep civil society dengan tema pokok Hak Asasi Manusia (HAM).
Presiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), suatu bentuk pressure group dari kalangan Islam, dimana ia duduk sebagai Ketua Umumnya. Kemudian konsep masyarakat madani mendapat dukungan luas dari para politisi, akademisi, agamawan, dan media massa karena mereka semua merasa berkepentingan untuk menyelamatkan gerakan Reformasi yang hendak menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan HAM. Tetapi untuk segera masuk kewilayah kehidupan masyarakat madani ternyata tidak mudah, karena pola kehidupan masyarakat yang diimpikan itu masih perlu disosialisasikan kepada masyarakat. Selain itu secara kultural, tantangan sosial budaya yang cukup berat adalah pluralisme masyarakat indonesia. Pluralisme tidak hanya brkaitan denagan budaya saja, tetapi juga persoalan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu diperlukan proses panjang dan waktu serta menuntut komitmen masing-masing warga bangsa untuk mereformasi diri secara total menuju terwujudnya masyarakat madani, dan juga menuntut berbagai upaya perubahan untuk mewujudkan masyarakat madani, baik yangberjagka pendek maupun yang berjangka panjang.
Pertama, perubahan jangka pendek, menyangkut perubahan pada pemerintah, politik, ekonomi dan hukum. Pada bidang pemerintahan,masyarakat pada era reformasi menuntut terciptanya pemerintahan bersih yang menjadi prasyarat untuk tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani, sehingga terwujud pemerintahan yang berwibawa, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme yaitu pemerintahan yang dapat dipercaya, dapat diterima dan dapat memimpin. Pada bidang politik, terutama diarahkan kepada hidupnya kembali kehidupan demokrasi yang sehat sesuai dengan tuntutan konstitusi 1945 serta adanya upaya dari pemerintah dan masyarakat untuk mencapai tingkat kesepakatan maksimal dalam memberi makna sistem demokrasi. Dimensi demokrasi dari pemerintah yaitu terciptanya tingkat keseimbangan relatif dan saling cek dalam hubungan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sedangkan dimensi demokrasi dari masyarakat adalah terciptanya kesepakatan nilai untuk kesetaraan di depan hukum dan pemerintah, kesetaraan dalam kompetisi dan kontestasi politik, kemandirian dan kemampuan menyelesaikan berbagai konflik dengan cara-cara damai, yang mencerminkan ciri-ciri masyarakat madani. Pada bidang ekonomi, menuntut kehidupan ekonomi yang lebih merata dan bukan hanya untuk kepentingan sekelompok kecil anggota masyarakat. Dalam bidang hukum, reformasi menuntut ketaatan kepada hukum untuk semua orang bukan hanya untuk kepentingan penguasa. Setiap orang sama didepan hukum dan dituntut untuk kedisipinan yang sama terhadap nilai-nilai hukum yang dikesepakati. Sehingga diharapkan terbentuknya lenbaga penegak hukum yang mencerminkan berlakunya supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menuju suatu tatanan masyarakat madani atau civil society Indonesia. Dalam bidang jurnalistik, terciptanya kebebasan pers.
Kedua, perubahan dalam jangka panjang, meliputi bidang kebudayaan dan pendidikan. Reformasi budaya menuntut perkembangan kebhinnekaan budaya Indonesia, maka kebudayaan daerah merupakan dasar bagi perkembangan identitas bangsa Indonesia, oleh sebab itu harus dibina dan dikembangkan. Pengembangan budaya daerah akan memberikan sumbangan bagi perkembangan rasa persatuan bangsa Indonesia yang menunjang ke arah identitas bangsa Indonesia yang kuat dan benar, yang mencerminkan masyarakat plural sebagai ciri masyarak madani. Pada bidang pendidikan, penyiapan sumber daya manusia yang berwawasan dan berperilaku madani melalui pendidikan, karena konsep masyarakat madani merupakan bagian dari tujuan pendidikan nasional. Semua pihak mutlak setuju, bahwa pendidikan amat penting bagi ikhtiar membangun manusia berkualitas, yang ditandai dengan peningkatan kecerdasan, pengetahuan dan keterampilan, karena pendidikan sendiri merupakan wahana strategi bagi usaha untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia, yang ditandai dengan membaiknya derajat kesejahtaraan, menurunnya kemiskinan, dan terbentuknya berbagai pilihan dan kesempatan mengembangkan diri menuju masyarakat madani.
Selanjutnya, munculnya wacana civil society di Indonesia banyak disuarakan oleh kalangan “tradisionalis” (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan “modernis”. Hal ini bisa dipahami karena pada masa tersebut, NU adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan.  Di kalangan NU dikembangkan wacana civil society yang dipahami sebagai masyarakat non-negara dan selalu tampil berhadapan dengan negara. Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984 yang mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU. 
Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah problem tentang prospek masyarakat madani di kalangan NU karena NU yang dulu menjadi komunitas non-negara dan selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi “negara” itu sendiri.  Hal tersebut memerlukan identikasi tentang peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana NU memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Bahwa timbulnya civil society pada abad ke-18 dimaksudkan untuk mencegah lahirnya negara otoriter, maka NU harus memerankan fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu tugas negara ataupun melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh negara, misalnya pengembangan pesantren. Sementara, Gus Dur harus mendukung terciptanya negara yang demokratis supaya memungkinkan berkembangnya masyarakat madani, dimana negara hanya berperan sebagai ‘polisi’ yang menjaga lalu lintas kehidupan beragama dengan rambu-rambu Pancasila.
            Untuk mewujudkan masyarakat madani di Indonesia dibutuhkan motivasi yang tinggi dan partisipasi nyata dari individu sebagai anggota masyarakat. Diperlukan proses dan waktu serta dituntut komitmen dan penuh kearifan dalam menyikapi konflik yang tak terelakkan. Tuntutan untuk mewujudkan masyarakat madani, tidak hanya dilakukan dengan seminar, diskusi, penataran. Tetapi perlu merumuskan langkah-langkah yang sistematis dan kontinyu yang dapat merubah cara pandang, kebiasaan dan pola hidup masyarakat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tulis opini mu disini :)