Nama : Yulia Meta Arpani
Class : TBI A – 12 104 026
A.
Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat
madani merupakan masyarakat yang menjadi impian dari semua orang. Hal ini
dikarenakan kehidupan dalam masyarakat madani yang beradab dalam membangun,
menjalani dan mampu. Untuk pertama kali istilah Masyarakat Madani dimunculkan
oleh Anwar Ibrahim mantan wakil perdana menteri Malaysia. Menurut Anwar
Ibrahim, sebagaimana dikutip Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani merupakan sistem
sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara
kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Inisiatif dari individu dan
masyarakat akan berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan
undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu. Ibrahim juga menyebutkan
definisi negatif dengan melukiskan keadaan manusia yang bertentangan dengan
ciri-ciri Masyarakat Madani. Lebih lanjut ia mengatakan
Kemelut yang
diderita umat manusia seperti meluasnya keganasan, sikap melampaui dan tidak
tasamuh kemiskinan dan kemelaratan ketidakadilan dan kebejatan sosial.
Kejahilan, kelesuan intelektual serta kemuflisan budaya adalah manifestasi
kritis masyarakat madani. Kemelut ini kita saksikan di kalangan masyarakat
Islam, baik di Asia maupun afrika, seolah-olah umat terjerumus kepada satu
kezaliman; kezaliman akibat kediktatoran atau kezaliman yang timbul dari
runtuhnya atau ketiadaan order politik serta peminggiran rakyat dari proses
politik.
Mengacu pada
definisi ideal dan kondisi berlawanan Masyarakat Madani, menurut Ibrahim,
masyarakat sipil di kawasan Asia dan Afrika masih jauh dari ciri-ciri ideal
Masyarakat Madani. Masyarakat sipil di belahan dunia ini masih berkutat dengan
kemiskinan, ketidakadilan ketiadaan tatanan, peminggiran politik dan kentalnya
budaya tidak toleran. Dari kesimpulan Ibrahim, nampak sekali cita ideal
masyarakat sipil yang hendak ia rumuskan masih bersumber pada realitas social
masyarakat sipil di dunia Barat. Menurut Anwar Ibrahim, masyarakat madani
mempunyai ciri-cirinya yang khas: kemajemukan budaya (multicultural), hubungan
timbal balik (reprocity), dan sikap saling
memahami dan
menghargai. Lebih lanjut Anwar Ibrahim menegaskan bahwa karakter Masyarakat
madani ini merupakan "guiding ideas", meminjam istilah Malik Bennabi,
dalam melaksanakan ide-ide yang mendasari masyarakat madani, yaitu prinsip
moral, keadilan, keseksamaan, musyawarah dan demokrasi.
Sejalan
dengan gagasan Anwar Ibrahim, Dawam Rahardjo mendefinisikan masyarakat madani
sebagai proses penciptaan peradaban yang mengacu kepada nilai-nilai kebijakan
bersama. Menurutnya, dalam masyarakat madani, warga Negara bekerja sama
membangun ikatan sosial, jaringan produktif dan solidaritas kemanusian yang
bersifat non-negara. Selanjutnya Dawam menjelaskan, dasar utama dari masyarakat
madani adalah persatuan dan integrasi sosial yang didasarkan pada suatu pedoman
hidup, menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan yang menyebabkan
perpecahan dan hidup dalam suatu persaudaraan.
Sejalan
dengan ide-ide di atas, menurut Azyumardi Azra, masyarakat madani lebih dari
sekedar gerakan pro-demokrasi, karena ia juga mengacu pada pembentukan
masyarakat berkualitas dan ber-tamadun (civility). Sejalan dengan pandangan di
atas, Nurcholish Madjid menegaskan bahwa makna masyarakat madani berakar dari
kata "civility" yang mengandung makna toleransi, kesediaan
pribadi-pribadi untuk menerima pelbagai macam pandangan politik dan tingkah
laku sosial.
B. Sejarah Pemikiran Masyarakat Madani
Adalah filsuf Yunani
Aristoteles (384-322 SM) yang memandang civil society sebagai sistem kenegaraan
atau identik dengan negara itu sendiri. Pandangan ini merupakan fase pertama
sejarah wacana civil society. Tentu saja pandangan ini telah berubah sama
sekali dengan rumusan civil society yang berkembang dewasa ini, yakni masyarakat
sipil di luar dan penyeimbang lembaga negara. Mazhab pandangan Aristoteles
selanjutnya dikembangkan oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), Thomas Hobbes
(1588-1679 SM) dan John Locke (1632-1704 SM).
Pada masa Aristoteles
civil society dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah
koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat
langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politikdan pengambilan keputusan.
Istilah koinonia politike yang dikemukakan oleh Aristoteles ini digunakan untuk
menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara di
dalamnya berkedudukan sama di depan hukum. Hukum sendiri dianggap etos, yakni
seperangkat nilai yang disepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur
politik, tetapi juga sebagai substansi dasar kebijakan dari berbagai bentuk
interaksi di antara warga negara.
Berbeda dengan
Aristoteles, Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) menamakannya dengan societies
civilies, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas yang lain. Istilah
yang digunakan Cicero lebih menekankan pada konsep negara kota (city-state),
yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota dan bentuk korporasi lainnya, sebagai
kesatuan yang terorganisir. Rumusan Cicero ini lebih menekankan pada konsep
civility atau kewargaan di satu pihak dan urbanity yakni budaya kota di lain
pihak. Kota, dalam pengertian itu, bukan hanya sekedar sebuah konsentrasi
penduduk, tetapi sebagai pusat kebudayaan dan pusat pemerintahan.
Rumusan
civil society selanjutnya dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679 M) dan
John Locke (1632-1704), yang memandangnya sebagai kelanjutan dari evolusi
natural society. Menurut Hobbes, sebagai entitas negara civil society mempunyai
peran untuk meredam konflik dalam masyarakat sehingga ia harus memiliki
kekuasaan mutlak, sehingga ia mampu mengontrol dan mengawasi secara ketat
pola-pola interaksi (prilaku politik) setiap warga negara.
Berbeda
dengan Hobbes, menurut John Locke, kehadiran civil soci ety adalah untuk
melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara. Mengingat sifatnya yang
demikian itu, civil society tidaklah absolut dan harus membatasi perannya pada
wilayah yang tidak bisa dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi
bagi warga negara untuk memperoleh haknya secara adil dan proporsional.
Fase kedua,
pada tahun 1767 Adam Ferguson mengembangkan wacana civil society dengan konteks
sosial dan politik di Skotlandia. Berbeda dengan pendahulunya, Ferguson lebih
menekankan visi etis pada civil society dalam kehidupan sosial. Pemahamannya
ini lahir tidak lepas dari pengaruh dampak revolusi industri dan kapitalisme
yang melahirkan ketimpangan sosial yang mencolok.
Menurut
Ferguson, ketimpangan sosial akibat kapitalisme harus dihilangkan, la yakin
bahwa publik secara alamiah memiliki spirit solidaritas sosial dan sentimen
moral yang dapat menghalangi munculnya kembali despotisme. Kehawatiran Ferguson
atas semakin menguatnya sikap individulistis dan berkurangnya tanggungjawab
sosial masyarakat mewarnai pandangannya tentang civil society pada fase ini.
Fase ketiga,
berbeda dengan pendahulunya, pada 1792 Thomas Paine mulai memaknai wacana civil
society sebagai sesuatu yang berlawanan dengan lembaga Negara, bahkan ia
dianggap sebagai antitesa negara. Bersandar pada paradigma ini, peran negara
sudah saatnya dibatasi. Menurut pandangan ini negara tidak lain hanyalah
keniscayaan buruk belaka. Konsep negara yang absah, menurut mazhab ini, adalah
perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi
terciptanya kesejahteraan bersama. Semakin sempurna sesuatu masyarakat sipil,
semakin besar pula peluangnya untuk mengatur kehidupan warganya sendiri.
Menurut
Paine terdapat batas-batas wilayah otonom masyarakat sehingga negara tidak
diperkenankan memasuki wilayah sipil. Dengan demikian, menurut Paine, civil
society adalah ruang di mana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi
peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas tanpa paksaan.
C.
Karakteristik
Masyarakat Madani
Karakteristik
dalam masyarakat yang madani :
1. Free public sphere
(ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki akses penuh terhadap
setiap kegiatan publik, yaitu berhak dalam menyampaikan pendapat, berserikat,
berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik. Sebagai sebuah
prasayarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam
sebuah tatan masyarakat, maka free public sphere menjadi salah satu bagian yang
harus dipenuhi, karena akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan
warga Negara dalam menyalurkan aspirasinya.
2. Demokratisasi, yaitu proses dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya. Demokrasi merupakan prasyarat yang banyak dikemukakan oleh para pakar. Dan demokrasi merupakan salah satu syarat mutlak bagi penegakan masyarakat madani. Penekanan demokratis disini dapat mencakup bentuk aspek kehidupan, seperti social, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya.
3. Toleransi, yaitu sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang/kelompok lain. Toleransi memungkinkan adanya kesadaran untuk menghargai serta menghormati pendapat yang dikemukakan oleh kelompok lainnya yang berbeda. Azyumardi juga menyebutkan bahwa masyarakat madani bukan hanya sekedar gerakan-gerakan pro demokrasi. Masyarakat ini mengacu juga pada yang berkualitas dan civility.civilitas yakni kesediaan induvidu – individu untuk menerima pandangan – pandangan politik dan sikap social yang berbeda – beda.
4. Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang majemuk disertai dengan sikap tulus. Menurut Nurcholis Madjid, konsep inimerupakan prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani. Menurutnya pluralism yaitu pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan – ikatan keadaban (genuine engagement ofdiversities within the bonds of civility). Bahkan juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check and balance).
5. Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap lingkungannya. Keadilan dimaksud untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proposional terhadap hak dan kewajiban setiap warga Negara. Secara esensial, masyarakat memiliki hak yang sama dalm memperoleh kebijakan – kebijakan yang ditetapkan oleh penguasa ( pemerintah).
6. Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain.
7. Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan.
8. Sebagai pengembangan masyarakat melalui upaya peningkatan pendapatan dan pendidikan.
9. Sebagai advokasi bagi masyarakt yang teraniaya dan tidak berdaya membela hak-hak dan kepentingan.
10. Menjadi kelompok kepentingan atau kelompok penekan.
11. Pilar Penegak
Masyarakt Madani
Pilar penegak masyarakat madani adalah
institusi-institusi yang menjadi bagian dari social control yang berfungsi
mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu
memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Dalam penegakan masyarakat
madani, pilar-pilar tersebut menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya kekuatan
masyarakat madani. Pilar-pilar tersebut yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
Pers, Supremasi Hukum, Perguruan Tinggi dan Partai Politik.
D.
Masyarakat
Madani di Indonesia
Masyarakat madani muncul sebagai reaksi terhadap
pemerintahan militeristik yang dibangun oleh rezim Orde Baru selama 32 tahun. Bangsa
Indonesia berusaha untuk mencari bentuk masyarakat madani yang pada dasarnya
adalah masyarakat sipil yang demokrasi dan agamis/religius. Dalam kaitannya
pembentukan masyarakat madani di Indonesia, maka warga negara Indonesia perlu
dikembangkan untuk menjadi warga negara yang cerdas, demokratis, dan religius
dengan bercirikan imtak, kritis argumentatif, dan kreatif, berfikir dan
berperasaan secara jernih sesuai dengan aturan, menerima semangat Bhineka
Tunggal Ika, berorganisasi secara sadar dan bertanggung jawab, memilih calon
pemimpin secara jujur-adil, menyikapi media massa secara kritis dan objektif,
berani tampil dan kemasyarakatan secara profesionalis,berani dan mampu menjadi
saksi, memahami daerah Indonesia saat ini, mengenal cita-cita Indonesia di masa
mendatang dan sebagainya.
Masyarakat madani adalah suatu komunitas masyarakat
yang memiliki kemandirian aktivitas warga masyarakatnya yang berkembang sesuai
dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama, dengan mewujudkan dan
memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan (persamaan), penegakan
hukum, jaminan kesejahteraan, kebebasan, kemajemukan (puralisme), dan
perlindungan terhadap kaum minoritas.Bangsa Indonesia adalah bangsa yang
memiliki kekhasan sosial-budaya. Merupakan fakta historis bahwa masyarakat
Indonesia adalah masyarakat majmuk, yang terdiri dari beragam suku, budaya,
bahasa dan agama. Masing-masin suku, budaya dan bahasa memiliki satu sistem
nilai yang berbeda. Kemajemukan ini akan menjadi bencana dan konflik yang berkepanjangan
jika tidak dikelola dengan baik.Kebhinekaan dan kearifan budaya lokal inilah
yang harus dikelola sehingga menjadi basis bagi terwujudnya masyarakat madani,
karena masyarakat madani Indonesia harus dibangundari nilai-nilai yang ada
didalamnya, bukan dari luar. Dengan demikian, menurut Tilaar ciri-ciri khas
masyarakat madani Indonesia adalah a). Keragaman budaya sebagai dasar
pengembangan identitas bangsa Indonesia dan identitas nasional, b). Adanya
saling pengertian di antara anggota masyarakat, c). Adanya toleransi yang
tinggi, dan d). Perlunya satu wadah bersama yang diwarnai oleh adanya kepastian
hukum.
Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada
rezim Orde Baru karena adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan
birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan. Kebijakan pemerintah yang
otoriter, menyebabkan organisasi-oranisasi kemasyarakatan tidak memiliki
kemandirian, tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap jalanya
pemerintahan.Kebijakan ini juga berlaku terhadap masyarakat politik (political
societies), sehingga partai-partai politik pun tidak berdaya melakukan kontrol
terhadap pemerintah dan tawar-menawar dengannya dalam menyampaikan aspirasi
rakyat. Hanya ada beberapa organisasi keagamaan yang memiliki basis
sosial besar yang agak memiliki kemandirian dan kekuatan dalam mempresentasikan
diri sebagai unsur dari masyarakat madani, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang
dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah dengan motor Prof.
Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit untuk melakukan intervensi dalam
pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut karena mereka memiliki
otoritas dalam pemahaman ajaran Islam. Pengaruh politik tokoh dan
organisasi keagamaan ini bahkan lebih besar daripada partai-partai politik yang
ada.
Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto
(1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa
transisi telah mempopulerkan konsep masyarakat madani karena presiden beserta
kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai
kesempatan. Bahkan, Presiden Habibie telah membentuk satu tim, dengan
Keputusan Presidan Republik Indonesia, Nomor 198, tentang Pembentukan Tim
Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani. Tim tersebut diberi tugas untuk
membahas masalah-masalah pokok yang harus disiapkan untuk membangun masyarakat
madani Indonesia, yaitu di antaranya: Pertama, menghimpun tentang transformasi
ekonomi, politik , hukum, sosial dan budaya serta pemikiran dampak globalisasi
terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa. Kedua, merumuskan rekomendasi serta
pemikiran tentang upaya untuk mendorong transformasi bangsa menuju masyarakat
madani. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma
lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak
cocok lagi. Soeharto terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 oleh
tekanan dari gerakan Reformasi yang sudah bosan dengan pemerintahan militer
Soeharto yang otoriter. Gerakan Reformasi didukung oleh negara-negara
Barat yang menggulirkan konsep civil society dengan tema pokok Hak Asasi
Manusia (HAM).
Presiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI
(Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), suatu bentuk pressure group dari
kalangan Islam, dimana ia duduk sebagai Ketua Umumnya. Kemudian konsep masyarakat
madani mendapat dukungan luas dari para politisi, akademisi, agamawan, dan
media massa karena mereka semua merasa berkepentingan untuk menyelamatkan
gerakan Reformasi yang hendak menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi
hukum, dan HAM. Tetapi untuk segera masuk kewilayah kehidupan masyarakat madani
ternyata tidak mudah, karena pola kehidupan masyarakat yang diimpikan itu masih
perlu disosialisasikan kepada masyarakat. Selain itu secara kultural, tantangan
sosial budaya yang cukup berat adalah pluralisme masyarakat indonesia.
Pluralisme tidak hanya brkaitan denagan budaya saja, tetapi juga persoalan
sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu diperlukan proses
panjang dan waktu serta menuntut komitmen masing-masing warga bangsa untuk
mereformasi diri secara total menuju terwujudnya masyarakat madani, dan
juga menuntut berbagai upaya perubahan untuk mewujudkan masyarakat madani, baik
yangberjagka pendek maupun yang berjangka panjang.
Pertama, perubahan jangka pendek, menyangkut
perubahan pada pemerintah, politik, ekonomi dan hukum. Pada bidang
pemerintahan,masyarakat pada era reformasi menuntut terciptanya pemerintahan
bersih yang menjadi prasyarat untuk tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani,
sehingga terwujud pemerintahan yang berwibawa, bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme yaitu pemerintahan yang dapat dipercaya, dapat diterima dan dapat
memimpin. Pada bidang politik, terutama diarahkan kepada hidupnya kembali
kehidupan demokrasi yang sehat sesuai dengan tuntutan konstitusi 1945 serta
adanya upaya dari pemerintah dan masyarakat untuk mencapai tingkat kesepakatan
maksimal dalam memberi makna sistem demokrasi. Dimensi demokrasi dari
pemerintah yaitu terciptanya tingkat keseimbangan relatif dan saling cek dalam
hubungan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sedangkan dimensi
demokrasi dari masyarakat adalah terciptanya kesepakatan nilai untuk kesetaraan
di depan hukum dan pemerintah, kesetaraan dalam kompetisi dan kontestasi
politik, kemandirian dan kemampuan menyelesaikan berbagai konflik dengan
cara-cara damai, yang mencerminkan ciri-ciri masyarakat madani. Pada bidang
ekonomi, menuntut kehidupan ekonomi yang lebih merata dan bukan hanya untuk
kepentingan sekelompok kecil anggota masyarakat. Dalam bidang hukum, reformasi
menuntut ketaatan kepada hukum untuk semua orang bukan hanya untuk kepentingan
penguasa. Setiap orang sama didepan hukum dan dituntut untuk kedisipinan yang
sama terhadap nilai-nilai hukum yang dikesepakati. Sehingga diharapkan
terbentuknya lenbaga penegak hukum yang mencerminkan berlakunya supremasi hukum
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menuju suatu tatanan
masyarakat madani atau civil society Indonesia. Dalam bidang jurnalistik, terciptanya
kebebasan pers.
Kedua, perubahan dalam jangka panjang, meliputi
bidang kebudayaan dan pendidikan. Reformasi budaya menuntut perkembangan
kebhinnekaan budaya Indonesia, maka kebudayaan daerah merupakan dasar bagi
perkembangan identitas bangsa Indonesia, oleh sebab itu harus dibina dan
dikembangkan. Pengembangan budaya daerah akan memberikan sumbangan bagi
perkembangan rasa persatuan bangsa Indonesia yang menunjang ke arah identitas
bangsa Indonesia yang kuat dan benar, yang mencerminkan masyarakat plural
sebagai ciri masyarak madani. Pada bidang pendidikan, penyiapan sumber daya
manusia yang berwawasan dan berperilaku madani melalui pendidikan, karena
konsep masyarakat madani merupakan bagian dari tujuan pendidikan nasional.
Semua pihak mutlak setuju, bahwa pendidikan amat penting bagi ikhtiar membangun
manusia berkualitas, yang ditandai dengan peningkatan kecerdasan, pengetahuan
dan keterampilan, karena pendidikan sendiri merupakan wahana strategi bagi
usaha untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia, yang ditandai dengan
membaiknya derajat kesejahtaraan, menurunnya kemiskinan, dan terbentuknya
berbagai pilihan dan kesempatan mengembangkan diri menuju masyarakat madani.
Selanjutnya, munculnya wacana civil society di
Indonesia banyak disuarakan oleh kalangan “tradisionalis” (termasuk Nahdlatul
Ulama), bukan oleh kalangan “modernis”. Hal ini bisa dipahami karena pada masa
tersebut, NU adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara,
bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Di kalangan NU dikembangkan
wacana civil society yang dipahami sebagai masyarakat non-negara dan selalu
tampil berhadapan dengan negara. Kebangkitan wacana civil society dalam NU
diawali dengan momentum kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984 yang
mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU.
Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya
menyiratkan sebuah problem tentang prospek masyarakat madani di kalangan NU
karena NU yang dulu menjadi komunitas non-negara dan selalu menjadi kekuatan
penyeimbang, kini telah menjadi “negara” itu sendiri. Hal tersebut
memerlukan identikasi tentang peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana NU
memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Bahwa timbulnya civil
society pada abad ke-18 dimaksudkan untuk mencegah lahirnya negara otoriter,
maka NU harus memerankan fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu
tugas negara ataupun melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh negara,
misalnya pengembangan pesantren. Sementara, Gus Dur harus mendukung terciptanya
negara yang demokratis supaya memungkinkan berkembangnya masyarakat madani,
dimana negara hanya berperan sebagai ‘polisi’ yang menjaga lalu lintas
kehidupan beragama dengan rambu-rambu Pancasila.
Untuk
mewujudkan masyarakat madani di Indonesia dibutuhkan motivasi yang tinggi dan
partisipasi nyata dari individu sebagai anggota masyarakat. Diperlukan proses
dan waktu serta dituntut komitmen dan penuh kearifan dalam menyikapi konflik
yang tak terelakkan. Tuntutan untuk mewujudkan masyarakat madani, tidak hanya
dilakukan dengan seminar, diskusi, penataran. Tetapi perlu merumuskan
langkah-langkah yang sistematis dan kontinyu yang dapat merubah cara pandang,
kebiasaan dan pola hidup masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan tulis opini mu disini :)