TUGAS KELOMPOK 14
PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK
"MENGEMBANGKAN RESILIENSI"
Oleh :
Yulia Meta Arpani (12 104 026)
Yulia Mustika (12 104 027)
Dosen Pembimbing :
Dra. Desmita. M.SI
Program Studi Tadris Bahasa Inggris (A)
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Batusangkar
2013 M / 1435 H
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Peserta
didik seringkali tidak nyaman bahkan tidak mampu menghadapi persoalan-persoalan
yang datang dari sekolah kepada dirinya, seperti tuntutan tugas, berbaur dengan
teman baru, menghadapi guru dan lain sebagainya, dan ini disebut dengan stres
sekolah. Salah satu langkah dalam mengatasi stres sekolah yaitu dengan
mengembangkan resiliensi.
Dalam
berbagai kajian, resiliensi dianggap sebagai kekuatan dasar yang menjadi
pondasi dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan
psikologis seseorang. Secara umum, resiliensi ditandai oleh sejumlah
karakteristik, yaitu: adanya kemampuan dalam menghadapi kesulitan, ketangguhan
dalam menghadapi stres ataupun bangkit dari trauma yang dialami (Masten &
Coatsworth, 1998). Senada dengan hal tersebut, Luthar, dkk (2000) menyatakan
bahwa resiliensi adalah sebuah proses dinamis yang mencakup adaptasi positif
dalam konteks situasi yang sulit, mengandung bahaya maupun hambatan yang
signifikan.
Menjadi
individu yang resilien bukan berarti ia tidak pernah mengalami kesulitan atau
stres. Justru sebaliknya, suatu jalan untuk menjadi orang yang resilien adalah
dengan sering mengalami tekanan-tekanan emosional yang masih bisa dihadapi.
Resiliensi juga bukanlah sebuah hal yang dimiliki ataupun tidak dimiliki oleh
seseorang. Akan tetapi resiliensi mencakup perilaku, pikiran dan berbagai sikap
yang dapat dipelajari dan dikembangkan dalam diri setiap manusia.
Oleh sebab itu, relisiensi ini merupakan sebuah kegiatan yang dirancang
untuk meningkatkan kemampuan manusia atau peserta didik khususnya untuk
menghadapi berbagai permasalahan hidup, sehingga mampu mengendalikan
kehidupannya dengan lebih baik.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian
resiliensi
2.
Ciri-ciri dan
faktor-faktor resiliensi
3.
Upaya pengembangan
relisiensi peserta didik
C.
Tujuan Penulisan
1.
Sebagai
pemenuhan tuntutan tugas mata Perkembangan Peserta Didik
2.
Mangetahui
maksud dari resiliensi
3.
Mengetahui
ciri-ciri dan faktor-faktor resiliensi
4.
Mengetahui upaya
pengembangan resiliensi peserta didik
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
atas segala limpahan Rahmat, Taufik dan Inayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga
makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman bagi pembaca.
Harapan penulis semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga penulis dapat memperbaiki bentuk maupun
isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini penulis akui masih banyak
kekurangan karena pengalaman yang penulis miliki sangat kurang. Oleh kerena itu
penulis harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Batusangkar, Desember 2013
Penulis
BAB II
PEMBAHASAN
Resiliensi Pada Peserta Didik
A.
Pengertian
Resiliensi
Istilah resiliensi diintrodusir oleh
Redl pada tahun 1969 yang digunakan untuk menggambarkan bagian positif dari
perbedaan individual dalam respon seseorang terhadap stress dan keadaan yang
merugikan (adversity) lainnya (Smaet, 1994). Istilah resiliensi diadopsi
sebagai ganti dari istilah-istilah yang sebelumnya telah digunakan oleh para
peneliti untuk menggambarkan fenomena, seperti : “invulnerable” (kekebalan),
“invincible” (ketangguhan), dan “hardy” (kekuatan), karena dalam proses menjadi
resilien tercakup pengenalan perasaan sakit, perjuangan dan penderitaan
(Handerson & Milstein, 2003).[1]
Resiliensi adalah
kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. (Reivich dan
Shatté,2002). Resiliensi dibangun dari tujuh kemampuan yang berbeda dan hampir tidak
ada satupun individu yang secara keseluruhan memiliki kemampuan tersebut dengan
baik, Kemampuan ini terdiri dari :
1.
Regulasi emosi Menurut Reivich dan Shatté (2002) regulasi emosi adalah kemampuan untuk
tetap tenang di bawah tekanan. Individu yang memiliki kemampuan meregulasi
emosi dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa
cemas, sedih, atau marah sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu masalah.
Pengekspresian emosi, baik negatif ataupun positif, merupakan hal yang sehat
dan konstruktif asalkan dilakukan dengan tepat. Pengekpresian emosi yang tepat
menurut Reivich dan Shatté (2002) merupakan salah satu kemampuan individu yang
resilien. Reivich dan Shatté (2002) mengemukakan dua hal penting yang terkait
dengan regulasi emosi, yaitu ketenangan (calming) dan fokus (focusing).
Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini, dapat membantu meredakan
emosi yang ada, memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi
stress.
2. Pengendalian impuls Reivich dan Shatté (2002)
mendefinisikan pengendalian impuls sebagai kemampuan mengendalikan keinginan,
dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang.
Individu dengan pengendalian impuls rendah sering mengalami perubahan emosi
dengan cepat yang cenderung mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Individu
seperti itu seringkali mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan
berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting, sehingga
lingkungan sosial di sekitarnya merasa kurang nyaman yang berakibat pada
munculnya permasalahan dalam hubungan sosial.
3.
Optimisme Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Mereka memiliki
harapan pada masa depan dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah
hidupnya. Dalam penelitian yang dilakukan, jika dibandingkan dengan individu
yang pesimis, individu yang optimis lebih sehat secara fisik, dan lebih jarang
mengalami depresi, lebih baik di sekolah, lebih peoduktif dalam kerja, dan
lebih banyak menang dalam olahraga (Reivich & Shatté, 2002). Optimisme
mengimplikasikan bahwa individu percaya bahwa ia dapat menangani
masalah-masalah yang muncul pada masa yang akan datang (Reivich & Shatté,
2002).
4.
Empati bahwa individu mampu
membaca tanda-tanda psikologis dan emosi dari orang lain. Empati mencerminkan
seberapa baik individu mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan emosi orang
lain (Reivich & Shatté, 2002). Selain itu, Werner dan Smith (dalam Lewis,
1996) menambahkan bahwa individu yang berempati mampu mendengarkan dan memahami
orang lain sehingga ia pun mendatangkan reaksi positif dari lingkungan.
Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial
yang positif (Reivich & Shatté, 2002).
5.
Analisis penyebab masalah Seligman (dalam Reivich & Shatté, 2002) mengungkapkan sebuah konsep
yang berhubungan erat dengan analisis penyebab masalah yaitu gaya berpikir.
Gaya berpikir adalah cara yang biasa digunakan individu untuk menjelaskan sesuatu
hal yang baik dan buruk yang terjadi pada dirinya.
6.
Efikasi diri Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan
pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan
efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan
sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan
masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang
digunakan itu tidak berhasil. Menurut Bandura (1994), individu yang memiliki
efikasi diri yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu
tidak merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan yang penuh dengan kemampuan
dirinya. Individu ini menurut Bandura (1994) akan cepat menghadapi masalah dan
mampu bangkit dari kegagalan yang ia alami.
7.
Peningkatan aspek positif Menurut Reivich dan Shatté (2002), resiliensi merupakan kemampuan yang
meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup. Individu yang meningkatkan
aspek positif dalam hidup, mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu:
(1) mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki
makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran besar dari kehidupan. Individu
yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi
permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan kemampuan interpersonal
dan pengendalian emosi (Reivich dan Shatte, 2002).[2]
Grotberg (1999: 10) secara sederhana
mengartikan resiliensi sebagai “the human capacity to face, overcome, be
strengthened by, and even be transformed by experiences of adversity”.[3]
Artinya, "Kapasitas manusia
untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat, dan bahkan diubah oleh pengalaman kesulitan".
Jadi,
dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa resiliensi
adalah kemampuan seseorang untuk mengatasi, memperbaiki dan mengubah dirinya
dari keterpurukkan masalah atau tekanan yang datang pada dirinya.
B.
Ciri-ciri dan
Faktor-faktor Resiliensi
Menurut Bernard (1991), seorang yang
resilien biasanya memiliki empat sifat-sifat umum, yaitu :
1.
Social
competence (kompetensi sosial): kemampuan
untuk memunculkan respons yang positif dari orang lain, dalam artian mengadakan
hubungan-hubungan yang positif dengan orang dewasa dan teman sebaya.
2.
Problem-solving
skills/metacognition (keterampilan
pemecahan masalah/metakognitif): perencanaan yang memudahkan untuk
mengendalikan diri sendiri dan memanfaatkan akal sehatnya untuk mencari bantuan
dari orang lain.
3.
Autonomy (otonomi): suatu kesadaran tentang identitas diri sendiri dan
kemampuan untuk bertindak secara independen serta melakukan pengontrolan
terhadap lingkungan.
4.
A sense of
purpose and future (kesadaran akan
tujuan dan masa depan): kesadaran akan tujuan-tujuan, aspirasi pendidikan,
ketekunan (persistence), penghargaan dan kesadaran akan suatu masa depan
yang cemerlang (bright).
Berdasarkan consensus dari sejumlah
peneliti dan praktisi yang terlibat aktif dalam pengembangan resiliensi, The
International Resilience Project merumuskan ciri-ciri atau sifat-sifat
seorang yang resilien dalam tiga kategori, yaitu : (1) External supports and
resources, (2) internal, personal strengths dan (3) social, interpersonal
skills. Dalam perkembangan selanjutnya, ketiga kategori yang digunakan untuk
menggambarkan karakteristik dan sifat-sifat seorang yang resilien tersebut
digunakan istilah-istilah pengganti. Sebagai pengganti istilah karakteristik external
supports and resources, digunakan istilah I HAVE, pengganti istilah karakteristik internal,
personal strengths, digunakan istilah I AM, dan pengganti istilah
karakteristik social, interpersonal skills, digunakan istilah I CAN
(Grotberg, 1995, 1996, 1999).
I HAVE (aku punya) merupakan
karakteristik resiliensi yang bersumber dari pemaknaan siswa terhadap besarnya
dukungan dan sumber daya yang diberikan oleh lingkungan sosial (external
supports and resources) terhadap dirinya. Sumber I HAVE ini memiliki
beberapa kualitas yang memberikan sumbangan bagi pembentukan resiliensi, yaitu
:
a.
Trusting
relationships;
b.
Acces to
health, education, welfare and security services;
c.
Emotional
support outside the family;
d.
Structure and
rules at home;
e.
Parental
encouragement of autonomy;
f.
Stable home
environment;
g.
Role models;
h.
Religious
organization (morality)
I AM (aku ini) merupakan
karakteristik resiliensi yang bersumber dari kekuatan pribadi (personal strengths)
yang dimiliki oleh siswa. Sumber I AM ini memiliki beberapa kualitas yang
memberikan sumbangan bagi pembentukkan resiliensi, yaitu :
a.
Sense of being
lovable;
b.
Autonomy;
c.
Appealing
temperament;
d.
Achievement
oriented;
e.
Self-esteem;
f.
Hope, faith,
belief in God, moralty, trust;
g.
Empathy and
altruism;
h.
Locus of
control.
I CAN (aku dapat) adalah
karakteristik resiliensi yang bersumber dari apa saja yang dapat dilakukan oleh
siswa sehubungan dengan keterampilan-keterampilan sosial dan interpersonal (social,
interpersonal skills). Keterampilan-keterampilan ini meliputi :
a.
Creativity;
b.
Persistence;
c.
Humor;
d.
Communication;
e.
Problem
solving;
f.
Impulse
control;
g.
Seeking
trusting relationships;
h.
Social skills;
i.
Intellectual
skills.
Ada lima faktor yang sangat
menentukan kualitas interaksi dari I HAVE, I AM, dan I CAN tersebut (Grotberg,
1999), yaitu :
1.
Trust
Trust
(kepercayaan), merupakan faktor resiliensi yang berhubungan dengan
bagaimana lingkungan mengembangkan rasa percaya siswa. Perasaan percaya ini
akan sangat menentukan seberapa jauh siswa memiliki kepercayaan terhadap orang
lain mengenai hidupnya, kebutuhan-kebutuhannya dan perasaan-perasaannya, serta
kepercayaan terhadap diri sendiri, terhadapkemampuan, tindakan dan masa
depannya.
2.
Autonomy
Autonomy
(otonomi), yaitu faktor resiliensi yang berkaitan dengan seberapa
jauh siswa menyadari bahwa dirinya terpisah dan berbeda dari lingkungan sekitar
sebagai kesatuan diri-pribadi.
3.
Initiative
Initiative
(inisiatif), yaitu faktor ketiga pembentukkan resiliensi yang
berperan dalam penumbuhan minat siswa melakukan sesuatu yang baru.
4.
Industry (industry), yaitu faktor resiliensi yang berhubungan dengan
pengembangan keterampilan-keterampilan berkaitan dengan aktivitas rumah,
sekolah, dan sosialisasi.
5.
Identity
Identity
(identitas), yaitu faktor resiliensi yang berkaitan dengan
pengembangan pemahaman siswa akan dirinya sendiri, baik kondisi fisik maupun
psikologisnya.
Kelompok
faktor tersebut merupakan landasan utama bagi pengembangan resiliensi siswa,
terutama dalam menghadapi situasi yang penuh stress.[4]
C.
Upaya
Pengembangan Resiliensi Peserta Didik
Dalam
upaya sekolah membantu perkembangan resiliensi siswa, Henderson dan Milstein
(2003) mengintrodusir enam tahap strategi (six-steps strategy), yang
disebutkan dengan istilah “The Resiliensi Wheel” (Roda Resiliensi).
Tahap pengembangan reseliensi siswa di sekolah tersebut adalah sebagai berikut
:
Tahap 1 Increase Bonding
Tahap
dalam membangun resiliensi siswa disekolah adalah dengan memperkuat
hubungan-hubungan (relationships). Tahap ini meliputi peningkatan
hubungan di antara individu dan pribadi prososial. Hal ini penting, karena
fakta menunjukkan bahwa siswa yang memiliki relasi atau keterikatan yang
positif jauh lebih mampu menghindari perilaku berisiko dibandingkan dengan
siswa yang tidak mimiliki keterikatan. Bila siswa dapat bergaul dengan baik,
biasanya mereka juga menunjukkan perilaku dan sikap yang positif dan saling
membantu. Mereka juga saling memberikan dorongan untuk belajar, aling
memberikan saran dan saling tolong menolong.
Tahap 2 Set Clear And Consistent
Boundaries
Tahap
kedua dalam membangun resiliensi siswa di sekolah adalah menjelaskan dan
menjaga konsistensi dari batasan-batasan atau peraturan-peraturan yang berlaku
di sekolah. Tahap ini meliputi pengembangan dan implementasi kebijakan sekolah
dan prosedur pelaksanaannya secara konsisten, serta menyampaikannya kepada
siswa, sehingga mereka mendapat gambaran yang jelas tentang harapan-harapan
tingkah laku disertai dengan penjelasan tentang tingkah laku berisiko dan
konsekuensinya, serta harus ditulis dan dikomunikasikan kepada siswa dengan
jelas, dan kemudian dilaksanakan secara konsisten.
Tahap 3 Teach Life Skills
Tahap
ketiga pembangunan resiliensi siswa di sekolah adalah mengajarkan
keterampilan-keterampilan hidup (teach life skills), yang meliputi:
kerjasama, resolusi konflik secara sehat, resistensi, keterampilan
berkomunikasi, keterampilan memecahkan masalah dan pengambilan keputusan, serta
manajemen stres yang sehat.
Tahap 4 Provide Caring and Support
Tahap
keempat ini meliputi pemberian penghargaan, perhatian dan dorongan yang
positif. Tahap ini merupakan tahap yang sangat kritis dari semua tahap
pengembangan resiliensi yang ada dalam the resiliency whell. Kenyataan
memang menunjukkan bahwa siswa mustahil dapat berhasil mengatasi adversitas
tanpa adanya perlindungan dan perhatian dari berbagai pihak. Oleh sebab itu,
semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan sekolah, harus berperan aktif
dalam memberikan caring dan support kepada siswa guna membantu
pengembangan resiliensinya.
Tahap 5 Set and Communicate High
Expectations
Tahap ini adalah memberikan atau menyampaikan harapan yang tinggi.
Tahap ini secara konsisten ditemui dalam literature resiliensi dan riset
tentang keberhasilan akademis. Hal ini adalah penting, karena harapan yang
tinggi dan realistis merupakan motivator yang efektif bagi siswa.
Tahap 6 Provide Opportunities For
Meaningful Participation
Strategi
keenam yang dapat digunakan dalam upaya membantu perkembangan resiliensi siswa
di sekolah adalah dengan memberikan tanggung jawab dan kesempatan untuk
berpartisipasi aktif, seperti kesempatan untuk memecahkan masalah, mengambil
keputusan, perencanaan, bekerja sama dan menolong orang lain. Siswa
diperlakukan sebagai individu yang bertanggung jawab, mengizinkan mereka untuk
berpartisipasi dalam semua aspek fungsi sekolah (Rutyer, 1984).[5]
[1] Desmita, Psikologi
Perkembangan peserta Didik, PT Remaja Rosdakarya : 2009, hal 199
[3] Desmita, ophchit,
hal 200
[5] Ibid, hal
208-217
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Istilah resiliensi diintrodusir oleh
Redl pada tahun 1969 yang digunakan untuk menggambarkan bagian positif dari
perbedaan individual dalam respon seseorang terhadap stress dan keadaan yang
merugikan (adversity) lainnya (Smaet, 1994). Istilah resiliensi diadopsi
sebagai ganti dari istilah-istilah yang sebelumnya telah digunakan oleh para
peneliti untuk menggambarkan fenomena, seperti : “invulnerable” (kekebalan),
“invincible” (ketangguhan), dan “hardy” (kekuatan), karena dalam proses menjadi
resilien tercakup pengenalan perasaan sakit, perjuangan dan penderitaan
(Handerson & Milstein, 2003).
Ciri-ciri dan Faktor-faktor Resiliensi
Menurut Bernard
(1991), seorang yang resilien biasanya memiliki empat sifat-sifat umum, yaitu :
a.
Social
competence
b.
Problem-solving
skills/metacognition
c.
Autonomy
d.
A sense of
purpose and future
Ada lima faktor yang sangat
menentukan kualitas interaksi dari I HAVE, I AM, dan I CAN tersebut (Grotberg,
1999), yaitu :
1.
Trust
2.
Autonomy
3.
Initiative
4.
Industry
5.
Identity
Upaya Pengembangan
Resiliensi Peserta Didik
Dalam
upaya sekolah membantu perkembangan resiliensi siswa, Henderson dan Milstein
(2003) mengintrodusir enam tahap strategi (six-steps strategy), yang
disebutkan dengan istilah “The Resiliensi Wheel” (Roda Resiliensi).
Tahap pengembangan reseliensi siswa di sekolah tersebut adalah sebagai berikut
:
Tahap 1 Increase Bonding
Tahap 2 Set Clear And Consistent
Boundaries
Tahap 3 Teach Life Skills
Tahap 4 Provide Caring and
Support
Tahap 5 Set and Communicate High
Expectations
Tahap 6 Provide Opportunities
For Meaningful Participation
B.
Saran
Demikianlah makalah ini kami buat
untuk melengkapi tugas mata kuliah perkembangan peserta didik, dengan mengambil
bahan dari kajian buku pustaka dan internet. Kami sadar hanya manusia biasa
yang tak pernah lepas dari khilaf, jadi jika ada salah penulisan dan kekurangan
materi kami mohon saran dan kritik yang konstributif demi kebaikan dan
kelancaran perkuliahan kita bersama dan kami ucapkan terimakasih atas apresiasinya.
Daftar Pustaka
Desmita, (2009), Psikologi Perkembangan Peserta Didik,Bandung,
PT Remaja Rosdakarya
http://id.wikipedia.org/wiki/Resiliensi/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan tulis opini mu disini :)