Minggu, 31 Mei 2015

PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK - "MENGEMBANGKAN RESILIENSI"






 





TUGAS KELOMPOK 14

PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK

"MENGEMBANGKAN RESILIENSI"


Oleh :
Yulia Meta Arpani (12 104 026)
Yulia Mustika (12 104 027)


Dosen Pembimbing :
Dra. Desmita. M.SI

Program Studi Tadris Bahasa Inggris (A)
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Batusangkar
2013 M / 1435 H



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Peserta didik seringkali tidak nyaman bahkan tidak mampu menghadapi persoalan-persoalan yang datang dari sekolah kepada dirinya, seperti tuntutan tugas, berbaur dengan teman baru, menghadapi guru dan lain sebagainya, dan ini disebut dengan stres sekolah. Salah satu langkah dalam mengatasi stres sekolah yaitu dengan mengembangkan resiliensi.
Dalam berbagai kajian, resiliensi dianggap sebagai kekuatan dasar yang menjadi pondasi dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikologis seseorang. Secara umum, resiliensi ditandai oleh sejumlah karakteristik, yaitu: adanya kemampuan dalam menghadapi kesulitan, ketangguhan dalam menghadapi stres ataupun bangkit dari trauma yang dialami (Masten & Coatsworth, 1998). Senada dengan hal tersebut, Luthar, dkk (2000) menyatakan bahwa resiliensi adalah sebuah proses dinamis yang mencakup adaptasi positif dalam konteks situasi yang sulit, mengandung bahaya maupun hambatan yang signifikan.
Menjadi individu yang resilien bukan berarti ia tidak pernah mengalami kesulitan atau stres. Justru sebaliknya, suatu jalan untuk menjadi orang yang resilien adalah dengan sering mengalami tekanan-tekanan emosional yang masih bisa dihadapi. Resiliensi juga bukanlah sebuah hal yang dimiliki ataupun tidak dimiliki oleh seseorang. Akan tetapi resiliensi mencakup perilaku, pikiran dan berbagai sikap yang dapat dipelajari dan dikembangkan dalam diri setiap manusia.
Oleh sebab itu, relisiensi ini merupakan sebuah kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan manusia atau peserta didik khususnya untuk menghadapi berbagai permasalahan hidup, sehingga mampu mengendalikan kehidupannya dengan lebih baik.



B.     Rumusan Masalah

1.      Pengertian resiliensi
2.      Ciri-ciri dan faktor-faktor resiliensi
3.      Upaya pengembangan relisiensi peserta didik

C.    Tujuan Penulisan
1.      Sebagai pemenuhan tuntutan tugas mata Perkembangan Peserta Didik
2.      Mangetahui maksud dari resiliensi
3.      Mengetahui ciri-ciri dan faktor-faktor resiliensi
4.      Mengetahui upaya pengembangan resiliensi peserta didik















KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Taufik dan Inayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Harapan penulis semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga penulis dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini penulis akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang penulis miliki sangat kurang. Oleh kerena itu penulis harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
                                                                                                Batusangkar,  Desember 2013

                                                                                                            Penulis



 

BAB II
PEMBAHASAN

Resiliensi Pada Peserta Didik
A.    Pengertian Resiliensi

Istilah resiliensi diintrodusir oleh Redl pada tahun 1969 yang digunakan untuk menggambarkan bagian positif dari perbedaan individual dalam respon seseorang terhadap stress dan keadaan yang merugikan (adversity) lainnya (Smaet, 1994). Istilah resiliensi diadopsi sebagai ganti dari istilah-istilah yang sebelumnya telah digunakan oleh para peneliti untuk menggambarkan fenomena, seperti : “invulnerable” (kekebalan), “invincible” (ketangguhan), dan “hardy” (kekuatan), karena dalam proses menjadi resilien tercakup pengenalan perasaan sakit, perjuangan dan penderitaan (Handerson & Milstein, 2003).[1]
Resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. (Reivich dan Shatté,2002). Resiliensi dibangun dari tujuh kemampuan yang berbeda dan hampir tidak ada satupun individu yang secara keseluruhan memiliki kemampuan tersebut dengan baik, Kemampuan ini terdiri dari :
1.      Regulasi emosi Menurut Reivich dan Shatté (2002) regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan. Individu yang memiliki kemampuan meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif ataupun positif, merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan dengan tepat. Pengekpresian emosi yang tepat menurut Reivich dan Shatté (2002) merupakan salah satu kemampuan individu yang resilien. Reivich dan Shatté (2002) mengemukakan dua hal penting yang terkait dengan regulasi emosi, yaitu ketenangan (calming) dan fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini, dapat membantu meredakan emosi yang ada, memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi stress.

2.      Pengendalian impuls Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan pengendalian impuls sebagai kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. Individu dengan pengendalian impuls rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Individu seperti itu seringkali mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting, sehingga lingkungan sosial di sekitarnya merasa kurang nyaman yang berakibat pada munculnya permasalahan dalam hubungan sosial.

3.      Optimisme Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Mereka memiliki harapan pada masa depan dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah hidupnya. Dalam penelitian yang dilakukan, jika dibandingkan dengan individu yang pesimis, individu yang optimis lebih sehat secara fisik, dan lebih jarang mengalami depresi, lebih baik di sekolah, lebih peoduktif dalam kerja, dan lebih banyak menang dalam olahraga (Reivich & Shatté, 2002). Optimisme mengimplikasikan bahwa individu percaya bahwa ia dapat menangani masalah-masalah yang muncul pada masa yang akan datang (Reivich & Shatté, 2002).

4.      Empati  bahwa individu mampu membaca tanda-tanda psikologis dan emosi dari orang lain. Empati mencerminkan seberapa baik individu mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan emosi orang lain (Reivich & Shatté, 2002). Selain itu, Werner dan Smith (dalam Lewis, 1996) menambahkan bahwa individu yang berempati mampu mendengarkan dan memahami orang lain sehingga ia pun mendatangkan reaksi positif dari lingkungan. Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif (Reivich & Shatté, 2002).

5.      Analisis penyebab masalah Seligman (dalam Reivich & Shatté, 2002) mengungkapkan sebuah konsep yang berhubungan erat dengan analisis penyebab masalah yaitu gaya berpikir. Gaya berpikir adalah cara yang biasa digunakan individu untuk menjelaskan sesuatu hal yang baik dan buruk yang terjadi pada dirinya.

6.      Efikasi diri Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil. Menurut Bandura (1994), individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu tidak merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan yang penuh dengan kemampuan dirinya. Individu ini menurut Bandura (1994) akan cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang ia alami.

7.      Peningkatan aspek positif Menurut Reivich dan Shatté (2002), resiliensi merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup. Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup, mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi (Reivich dan Shatte, 2002).[2]
Grotberg (1999: 10) secara sederhana mengartikan resiliensi sebagai “the human capacity to face, overcome, be strengthened by, and even be transformed by experiences of adversity”.[3] Artinya, "Kapasitas manusia untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat, dan bahkan diubah oleh pengalaman kesulitan".
Jadi, dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk mengatasi, memperbaiki dan mengubah dirinya dari keterpurukkan masalah atau tekanan yang datang pada dirinya.

B.     Ciri-ciri dan Faktor-faktor Resiliensi

Menurut Bernard (1991), seorang yang resilien biasanya memiliki empat sifat-sifat umum, yaitu :
1.      Social competence (kompetensi sosial): kemampuan untuk memunculkan respons yang positif dari orang lain, dalam artian mengadakan hubungan-hubungan yang positif dengan orang dewasa dan teman sebaya.
2.      Problem-solving skills/metacognition (keterampilan pemecahan masalah/metakognitif): perencanaan yang memudahkan untuk mengendalikan diri sendiri dan memanfaatkan akal sehatnya untuk mencari bantuan dari orang lain.
3.      Autonomy (otonomi): suatu kesadaran tentang identitas diri sendiri dan kemampuan untuk bertindak secara independen serta melakukan pengontrolan terhadap lingkungan.
4.      A sense of purpose and future (kesadaran akan tujuan dan masa depan): kesadaran akan tujuan-tujuan, aspirasi pendidikan, ketekunan (persistence), penghargaan dan kesadaran akan suatu masa depan yang cemerlang (bright).
Berdasarkan consensus dari sejumlah peneliti dan praktisi yang terlibat aktif dalam pengembangan resiliensi, The International Resilience Project merumuskan ciri-ciri atau sifat-sifat seorang yang resilien dalam tiga kategori, yaitu : (1) External supports and resources, (2) internal, personal strengths dan (3) social, interpersonal skills. Dalam perkembangan selanjutnya, ketiga kategori yang digunakan untuk menggambarkan karakteristik dan sifat-sifat seorang yang resilien tersebut digunakan istilah-istilah pengganti. Sebagai pengganti istilah karakteristik external supports and resources, digunakan istilah I HAVE,  pengganti istilah karakteristik internal, personal strengths, digunakan istilah I AM, dan pengganti istilah karakteristik social, interpersonal skills, digunakan istilah I CAN (Grotberg, 1995, 1996, 1999).

I HAVE (aku punya) merupakan karakteristik resiliensi yang bersumber dari pemaknaan siswa terhadap besarnya dukungan dan sumber daya yang diberikan oleh lingkungan sosial (external supports and resources) terhadap dirinya. Sumber I HAVE ini memiliki beberapa kualitas yang memberikan sumbangan bagi pembentukan resiliensi, yaitu :
a.       Trusting relationships;
b.      Acces to health, education, welfare and security services;
c.       Emotional support outside the family;
d.      Structure and rules at home;
e.       Parental encouragement of autonomy;
f.       Stable home environment;
g.      Role models;
h.      Religious organization (morality)

I AM (aku ini) merupakan karakteristik resiliensi yang bersumber dari kekuatan pribadi (personal strengths) yang dimiliki oleh siswa. Sumber I AM ini memiliki beberapa kualitas yang memberikan sumbangan bagi pembentukkan resiliensi, yaitu :
a.       Sense of being lovable;
b.      Autonomy;
c.       Appealing temperament;
d.      Achievement oriented;
e.       Self-esteem;
f.       Hope, faith, belief in God, moralty, trust;
g.      Empathy and altruism;
h.      Locus of control.

I CAN (aku dapat) adalah karakteristik resiliensi yang bersumber dari apa saja yang dapat dilakukan oleh siswa sehubungan dengan keterampilan-keterampilan sosial dan interpersonal (social, interpersonal skills). Keterampilan-keterampilan ini meliputi :
a.       Creativity;
b.      Persistence;
c.       Humor;
d.      Communication;
e.       Problem solving;
f.       Impulse control;
g.      Seeking trusting relationships;
h.      Social skills;
i.        Intellectual skills.


Ada lima faktor yang sangat menentukan kualitas interaksi dari I HAVE, I AM, dan I CAN tersebut (Grotberg, 1999), yaitu :
1.      Trust
Trust (kepercayaan), merupakan faktor resiliensi yang berhubungan dengan bagaimana lingkungan mengembangkan rasa percaya siswa. Perasaan percaya ini akan sangat menentukan seberapa jauh siswa memiliki kepercayaan terhadap orang lain mengenai hidupnya, kebutuhan-kebutuhannya dan perasaan-perasaannya, serta kepercayaan terhadap diri sendiri, terhadapkemampuan, tindakan dan masa depannya.
2.      Autonomy
Autonomy (otonomi), yaitu faktor resiliensi yang berkaitan dengan seberapa jauh siswa menyadari bahwa dirinya terpisah dan berbeda dari lingkungan sekitar sebagai kesatuan diri-pribadi.
3.      Initiative
Initiative (inisiatif), yaitu faktor ketiga pembentukkan resiliensi yang berperan dalam penumbuhan minat siswa melakukan sesuatu yang baru.
4.      Industry (industry), yaitu faktor resiliensi yang berhubungan dengan pengembangan keterampilan-keterampilan berkaitan dengan aktivitas rumah, sekolah, dan sosialisasi.
5.      Identity
Identity (identitas), yaitu faktor resiliensi yang berkaitan dengan pengembangan pemahaman siswa akan dirinya sendiri, baik kondisi fisik maupun psikologisnya.

            Kelompok faktor tersebut merupakan landasan utama bagi pengembangan resiliensi siswa, terutama dalam menghadapi situasi yang penuh stress.[4]
C.     Upaya Pengembangan Resiliensi Peserta Didik
           
            Dalam upaya sekolah membantu perkembangan resiliensi siswa, Henderson dan Milstein (2003) mengintrodusir enam tahap strategi (six-steps strategy), yang disebutkan dengan istilah “The Resiliensi Wheel” (Roda Resiliensi). Tahap pengembangan reseliensi siswa di sekolah tersebut adalah sebagai berikut :
Tahap 1 Increase Bonding
            Tahap dalam membangun resiliensi siswa disekolah adalah dengan memperkuat hubungan-hubungan (relationships). Tahap ini meliputi peningkatan hubungan di antara individu dan pribadi prososial. Hal ini penting, karena fakta menunjukkan bahwa siswa yang memiliki relasi atau keterikatan yang positif jauh lebih mampu menghindari perilaku berisiko dibandingkan dengan siswa yang tidak mimiliki keterikatan. Bila siswa dapat bergaul dengan baik, biasanya mereka juga menunjukkan perilaku dan sikap yang positif dan saling membantu. Mereka juga saling memberikan dorongan untuk belajar, aling memberikan saran dan saling tolong menolong.

Tahap 2 Set Clear And Consistent Boundaries
            Tahap kedua dalam membangun resiliensi siswa di sekolah adalah menjelaskan dan menjaga konsistensi dari batasan-batasan atau peraturan-peraturan yang berlaku di sekolah. Tahap ini meliputi pengembangan dan implementasi kebijakan sekolah dan prosedur pelaksanaannya secara konsisten, serta menyampaikannya kepada siswa, sehingga mereka mendapat gambaran yang jelas tentang harapan-harapan tingkah laku disertai dengan penjelasan tentang tingkah laku berisiko dan konsekuensinya, serta harus ditulis dan dikomunikasikan kepada siswa dengan jelas, dan kemudian dilaksanakan secara konsisten.

Tahap 3 Teach Life Skills
            Tahap ketiga pembangunan resiliensi siswa di sekolah adalah mengajarkan keterampilan-keterampilan hidup (teach life skills), yang meliputi: kerjasama, resolusi konflik secara sehat, resistensi, keterampilan berkomunikasi, keterampilan memecahkan masalah dan pengambilan keputusan, serta manajemen stres yang sehat.

Tahap 4 Provide Caring and Support
            Tahap keempat ini meliputi pemberian penghargaan, perhatian dan dorongan yang positif. Tahap ini merupakan tahap yang sangat kritis dari semua tahap pengembangan resiliensi yang ada dalam the resiliency whell. Kenyataan memang menunjukkan bahwa siswa mustahil dapat berhasil mengatasi adversitas tanpa adanya perlindungan dan perhatian dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan sekolah, harus berperan aktif dalam memberikan caring dan support kepada siswa guna membantu pengembangan resiliensinya.



Tahap 5 Set and Communicate High Expectations
            Tahap ini adalah memberikan atau menyampaikan harapan yang tinggi. Tahap ini secara konsisten ditemui dalam literature resiliensi dan riset tentang keberhasilan akademis. Hal ini adalah penting, karena harapan yang tinggi dan realistis merupakan motivator yang efektif bagi siswa.

Tahap 6 Provide Opportunities For Meaningful Participation
            Strategi keenam yang dapat digunakan dalam upaya membantu perkembangan resiliensi siswa di sekolah adalah dengan memberikan tanggung jawab dan kesempatan untuk berpartisipasi aktif, seperti kesempatan untuk memecahkan masalah, mengambil keputusan, perencanaan, bekerja sama dan menolong orang lain. Siswa diperlakukan sebagai individu yang bertanggung jawab, mengizinkan mereka untuk berpartisipasi dalam semua aspek fungsi sekolah (Rutyer, 1984).[5]



[1] Desmita, Psikologi Perkembangan peserta Didik, PT Remaja Rosdakarya : 2009, hal 199
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Resiliensi/2013
[3] Desmita, ophchit, hal 200
[4] Ibid, hal 200-207
[5] Ibid, hal 208-217




BAB III

PENUTUP
A.    Kesimpulan
Istilah resiliensi diintrodusir oleh Redl pada tahun 1969 yang digunakan untuk menggambarkan bagian positif dari perbedaan individual dalam respon seseorang terhadap stress dan keadaan yang merugikan (adversity) lainnya (Smaet, 1994). Istilah resiliensi diadopsi sebagai ganti dari istilah-istilah yang sebelumnya telah digunakan oleh para peneliti untuk menggambarkan fenomena, seperti : “invulnerable” (kekebalan), “invincible” (ketangguhan), dan “hardy” (kekuatan), karena dalam proses menjadi resilien tercakup pengenalan perasaan sakit, perjuangan dan penderitaan (Handerson & Milstein, 2003).
Ciri-ciri dan Faktor-faktor Resiliensi
Menurut Bernard (1991), seorang yang resilien biasanya memiliki empat sifat-sifat umum, yaitu :
a.       Social competence
b.      Problem-solving skills/metacognition
c.       Autonomy
d.      A sense of purpose and future
Ada lima faktor yang sangat menentukan kualitas interaksi dari I HAVE, I AM, dan I CAN tersebut (Grotberg, 1999), yaitu :
1.      Trust
2.      Autonomy
3.      Initiative
4.      Industry
5.      Identity
           
            Upaya Pengembangan Resiliensi Peserta Didik
           Dalam upaya sekolah membantu perkembangan resiliensi siswa, Henderson dan Milstein (2003) mengintrodusir enam tahap strategi (six-steps strategy), yang disebutkan dengan istilah “The Resiliensi Wheel” (Roda Resiliensi). Tahap pengembangan reseliensi siswa di sekolah tersebut adalah sebagai berikut :
Tahap 1 Increase Bonding
Tahap 2 Set Clear And Consistent Boundaries
Tahap 3 Teach Life Skills
Tahap 4 Provide Caring and Support
Tahap 5 Set and Communicate High Expectations
Tahap 6 Provide Opportunities For Meaningful Participation

B.     Saran
Demikianlah makalah ini kami buat untuk melengkapi tugas mata kuliah perkembangan peserta didik, dengan mengambil bahan dari kajian buku pustaka dan internet. Kami sadar hanya manusia biasa yang tak pernah lepas dari khilaf, jadi jika ada salah penulisan dan kekurangan materi kami mohon saran dan kritik yang konstributif demi kebaikan dan kelancaran perkuliahan kita bersama dan kami ucapkan terimakasih atas apresiasinya.



Daftar Pustaka
Desmita, (2009), Psikologi Perkembangan Peserta Didik,Bandung, PT Remaja    Rosdakarya
http://id.wikipedia.org/wiki/Resiliensi/2013

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tulis opini mu disini :)