TUGAS KELOMPOK 11
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
TUNTUTAN STAKEHOLDER PENDIDIKAN
TERHADAP PEMBAHARUAN
DIMENSI SOSIAL PERSEKOLAHAN
Oleh :
Yulia Meta Arpani (12 104 026)
Nadila Ayunda Fishka (12 104 017)
Ridhatul Fernanda (10 104 090)
Dosen Pembimbing :
Drs. Adripen,M.Pd
Gustina,M.Pd
Program Studi Tadris Bahasa Inggris (A)
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Batusangkar
2013 M / 1434 H
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbicara mengenai stakeholders sangat menarik, karena kita akan mengetahui bagaimana, pentingnya pendidikan dengan
menggunakan berbagai kebijakan di sektor pendidikan. Pendidikan saat ini tidak
saja dianggap sebagai lembaga yang hanya berperan dalam meningkatkan kecerdasan
peserta didik sehingga pihak lain tidak dapat mencampuri apalagi melakukan inetrvensi terhadap kebijakan persekolahan,
tetapi saat ini pendidikan dan lembaga yang dapat dipengaruhi bahkan di intervensi
oleh pelanggan pendidikan. Oleh karena itu
makalah ini ditulis selain untuk melengkapi tugas mata kuliah sosial pendidikan
juga untuk mengetahui tuntutan stakeholders pendidikan terhadap
pembaharuan dimensi sosial persekolahan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Memformulasikan akselerasi stakeholder pendidikan di persekolahan
2.
Menjelaskan prinsip-prinsip management berbasis sekolah
3.
Menjelaskan konsep live
skill
4.
Menguraikan konstektual teaching and learning
5.
Peran serta masyarakat dalam pendidikan
C.
Tujuan Penulisan
1.
Sebagai
pemenuhan tuntutan tugas mata kuliah Sosiologi Pendidikan
2.
Mangetahui
maksud dari stake holder
3.
Mengetahui prinsip-prinsip management berbasis sekolah
4.
Mengetahui konsep live
skill
5.
Mengetahui
konstektual teaching and learning
6.
Mengetahui
peran masyarakat dalam pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Akselerasi Stakeholders
Pendidikan di Persekolahan
Stakeholders pendidikan merupakan kelompok kepentingan yang akan menentukan
berbagai kebijakan di sektor pendidikan. Pendidikan saat ini tidak saja
dianggap sebagai lembaga yang hanya berperan dalam meningkatkan kecerdasan
peserta didik sehingga pihak lain tidak dapat mencampuri apalagi melakukan
intervensi terhadap kebijakan persekolahan, tetapi pada saat ini pendidikan dan
lembaga pendidikan telah dianggap
sebagai lembaga yang dapat dipengaruhi bahkan di intervensi oleh pelanggan
pendidikan.
Intervensi yang dimaksud disini
adalah adanya peluang yang besar bagi kelompok kepentingan atau stakeholders
dalam menentukan arah kebijakan dan segala sesuatu yang harus dilakukan oleh
persekolahan. Akselerasi stakeholders pendidikan tersebut, pada dasarnya
adalah untuk meningkatkan mutu layanan persekolahan terhadap masyarakat sebagai
lembaga yang dapat berdiri sendiri tanpa adanya pengaruh dari pengguna
persekolahan.
Posisi stakeholders
pendidikan harus memperhatikan apa yang dibutuhkan serta yang diinginkannya,
karena itu, persekolahan setiap saat diwajibkan mampu menjadi jembatan antara
kepentingan stakeholders dengan kepentingan persekolahan tersebut.
Saat ini era globalisasi
mengharuskan lulusan persekolahan dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan yang
berdimensi lokal, regional dan global. Lulusan lembaga persekolahan yang tidak
dapat menyesuaikan dengan era globalisasi, mengakibatkan persekolahan dianggap
tidak mampu menempatkan lulusannya dalam pergaulan global. Tuntutan yang
adakalanya tidak diperhatikan persekolahan inilah diharuskan inovatif dalam
menyahuti tuntutan globalisasi tersebut.
Menurut Tilaar (1999:358), kondisi yang mencetuskan konsep-konsep
inovasi yang dituntut dalam era globalisasi adalah :
1.
Di dalam era
globalisasi kita berada di dalam suatu masyarakat yang kompetitif.
2.
Masyarakat di
dalam era globalisasi menuntut kualitas yang tinggi baik di dalam jasa, barang,
maupun investasi modal. Kualitas berada di atad kuantitas.
3.
Era globalisasi
merupakan suatu era informasi dengan sarana-sarananya yang dikenal sebagai information
superhighway.
4.
Era globalisasi
merupakan era komunikasi yang sangat cepat dan canggih.
5.
Era globalisasi
ditandai oleh maraknya kehidupan bisnis, oleh sebab itu kemampuan bisnis,
manajer, merupakan tuntutan masyarakat masa depan.
6.
Era globalisasi
merupakan era teknologi dan oleh sebab itu anggota-anggota masyarakatnya
haruslah merek digital.
Konsep-konsep inovatif tersebut mau
tidak mau mempengaruhi penyelenggaraan persekolahan pada saat ini. Karena itu, stakeholders
pendidikan diberi peluang dan kesempatan yang luas dalam menentukan
kebijakan persekolahan secara terukur dan proporsional. Tuntutan dan keinginan stakeholders
tersebut secara positif mengharuskan persekolahan memiliki manajemen yang
akurat dalam melihat apa sebenarnya yang dibutuhkan pelanggan pendidikan bagi
masa depannya setelah menyelesaikan setiap jenjang pendidikan.[1]
B.
Manajemen
Pendidikan Berbasis Sekolah
Manajemen pendidikan berbasis
sekolah (school based management) merupakan alternative baru dalam
pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas
sekolah. Indikator keberhasilan MPBS yang harus dapat diukur dan dirasakan oleh
para stakeholders pendidikan adalah adanya peningkatan mutu pendidikan
di sekolah.[2]
Dalam buku Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah yang dikeluarkan oleh Direktorat Pendidikan Menengah
Umum, Dirjen Dikdasmen, Depdiknas (1999:6-7) diungkapkan beberapa indicator
yang menjadi karakteristik dari konsep MPBS sekaligus merefleksikan peran dan
tanggung jawab masing-masing pihak antara lain :
1.
Lingkungan
sekolah yang aman dan tertib,
2.
Sekolah
memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai,
3.
Sekolah
memiliki kepemimpinan yang kuat,
4.
Adanya harapan
yang tinggi dari personil sekolah untuk berprestasi,
5.
Adanya
pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK,
6.
Adanya
peleksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan
administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaaan dan atau perbaikan
mutu,
7.
Adanya
komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua siswa dan masyarakat lainnya.
MPBS harus dipersepsi sebagai
alternatif pemecahan masalah rendahnya mutu pendidikan di sekolah melalui
kemandirian, kreativitas, keberdayaan, dan inisiatif sekolah. Namun, perlu
disadari bahwa MPBS tidak mungkin dapat mendongkrak kualitas pendidikan apabila
tidak didukung faktor lainnya. Keberhasilannya sangat dipengaruhi dan ditentukan
oleh sejumlah faktor lainnya, yaitu :
1.
Tingkat
kemampuan ekonomi masyarakat,
2.
Sosial budaya,
politik,
3.
Taraf
pendidikan masyarakat,
4.
Kebijakan
pemerintah,
5.
Organisasi dan
kepemimpinan kepala sekolah,
6.
Strategi
pembelajaran dikelas,
7.
Tata laksana
sekolah,
8.
Serta
profesionalisme guru, dan
9.
Tenaga
kependidikan lainnya.
Dalam implementasi MPBS ini sekolah perlu melakukan perencanaan stategis, yang
didasarkan pada hasil identifikasi masalah. Analisis SWOT (Strengths –
Weakness – Opportunities- Threats) merupakan salah satu metode yang dapat
digunakan untuk membantu sekolah mengungkap dan mengidentifikasi permasalahan.
Sebagai tolak ukur dari keberhasilan
implementasi MPBS, telah ditetapkan 16 indikator keberhasilannya meliputi :
1.
Efektifitas
proses pembelajaran,
2.
Kepemimpinan
sekolah yang kuat,
3.
Pengelolaan
tenaga kependidikan yang efektif,
4.
Sekolah
memiliki budaya mutu,
5.
Sekolah
memiliki “team work” yangkompak, cerdas dan dinamis,
6.
Sekolah
memiliki kemandirian,
7.
Partisipasi
warga sekolah dan masyarakat tinggi,
8.
Sekolah
memiliki transparansi,
9.
Sekolah
memiliki kemauan untuk berubah, baik psikologis maupun fisik,
10.
Sekolah
melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan,
11.
Sekolah
responsive dan antisipatif terhadap kebutuhan,
12.
Sekolah
memiliki akuntabilitas,
13.
Sekolah
memiliki sustainabilitas,
14.
Output adalah prestasi sekolah,
15.
Penekanan angka
drop-out, dan
16.
Kepuasan staf
sesuai dengan tugas dan kewenangannya.[3]
C.
Life Skill
(Kecakapan Hidup)
Istilah Kecakapan Hidup (life
skills) diartikan sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan
berani menghadapi problema hidup dan penghidupan secara wajar tanpa merasa
tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi
sehingga akhirnya mampu mengatasinya (Dirjen PLSP, Direktorat Tenaga Teknis,
2003).
Brolin
(1989) menjelaskan bahwa, “Life skills constitute a continuum of knowledge
and aptitude that are necessary for a person to function effectively and to
avoid interruptions of employment experience”. Dengan demikian life
skills dapat dinyatakan sebagai kecakapan untuk hidup. Istilah hidup, tidak
semata-mata memiliki kemampuan tertentu saja (vocational job), namun ia
harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti :
membaca, menulis, menghitung, merumuskan, dan memecahkan masalah, mengelola
sumber daya, bekerja dalam tim, terus belajar di tempat kerja, mempergunakan
teknologi (Satori, 2002).[4]
Secara khusus pendidikan yang berorientasi pada kecakapan hidup
bertujuan untuk :
1.
Mengaktualisasikan
potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang
dihadapi,
2.
Memberikan
kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel,
sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas, dan
3.
Mengoptimalkan
pemanfaatan sumberdaya di lingkungan sekolah, dengan memberi peluang
pemanfaatan sumberdaya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen
berbasis sekolah (Dirdikmenum Depdiknas, 2002:7).[5]
Kecakapan hidup
dapat dipilah menjadi 4 jenis, yaitu :
1.
Kecakapan
Personal (personal skill), yang mencakup kecakapan mengenal diri (self
awareness) an kecakapan berpikir rasional (thingking skill)
2.
Kecakapan sosial (social skill)
3.
Kecakapan akademik (akademic skill)
4.
Kecakapan vokasional (vokasional skill)
Kecakapan mengenal
diri itu pada dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa, anggota masyarakat dan warga Negara, serta menyadari dan
mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimilki, sekaligus menjadikannya
sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi
dirisendiri dan lingkungannya.
Kecakapan berpikir
rasional mencakup antara lain kecakapan menggali dan menemukan informasi (information
searching) , kecakapan mengolah informasi dan mengambil keputusan, serta
kecakapan memecahkan masalah secara kreatif.
Kecakapn sosial
atau kecakapan antar-personal (inter-personal skill) mencakup
antara lain kecakapan komunikasi dengan empati, dan kecakapan bekerjasama (collaboration
skill). Dua kecakapan hidup yang diuraikan di atas biasanya disebut sebagai
kecakapan hidup yang bersifat umum atau kecakapan hidup generik (general
life skill/GLS). Kecakapan hidup tersebut diperlukan oleh siapapun, baik
mereka yang bekerja, mereka yang tidak bekerja dan mereka yang sedang menempuh
pendidikan.
Kecakapan hidup yang bersifat spesifik
diperlukan seseorang untuk menghadapi problema bidang khusus tertentu.
Untuk mengatasi problema “mobil yang mogok” tentu diperlukan kecakapan khusus
tentang mesin mobil, begitu juga dengan yang lainnya.
Kecakapan hidup
yang bersifat khusus biasanya disebut juga sebagai kompetensi teknis yang
terkait dengan materi mata-pelajaran atau mata-diklat tertentu dan pendekatan
pembelajaranya.
Kecakapan
akademik (academic skill) yang
seringkali juga disebut kemampuan berpikir ilmiah pada dasarnya merupakan
pengembangan dari kecakapan berpikir rasional pada GLS.
Kecakapan vakasional seringkali
disebut pula dengan ” kecakapan kejuruan”, artinya kecakapan yang dikaitkan
dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat.
Aspek-aspek sosial dalam pertumbuhan
dan perkembangan masyarakat menjadi kajian yang relavan terhadap berbagai
persoalan yang me-merlukan solusi akurat. Hal ini tentu saja menjadi salah satu
kajian yang harus dilakukan secara intensif agar lembaga persekolahan tidak
mengecewakan pengguna jasanya. Karena itu, life skill atau kecakapan
hidup merupakan bagian terpenting dan harus ditanamkan dalam proses
pembelajaran sehingga potensi ideografik dan nomotetil peserta didik berkembang
secara propesional.[6]
D.
Contextual
Teaching and Learning (CTL)
Untuk meningkatkan kemampuan anak
didik terhadap fenomena lingkungannya, dibutuhkan sebuah strategi pengajaran
yang dapat memaksimalkan pemahaman anak dengan lingkungannya tersebut. Karena
itu, pelajaran yang bersifat alamiah merupakan strategi penting agar anak didik
lebih “mengalami” daripada “mengetahui”. Pentingnya mengalami daripada
mengetahui tentu saja memiliki perbedaan, mengalami merupakan proses alamiah
yang dirasakan dan dilakukan oleh anak didik sehingga ia dapat memaknai sebuah
peristiwa secara empiris, sedangkan mengetahui cenderung diperoleh karena
adanya transfer informasi dari seseorang (guru) kepada dirinya.
Salah satu strategi yang dianggap
konstektual dengan mendekatkan anak didik kepada proses alamiah pembelajaran,
disebut dengan pendekatan konstektual CTL. Pendekatan CTL menurut Diktorat
Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Diktorat Pendidikan Lanjut Pertama
Depdiknas, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan CTL merupakan konsep belajar
yang membantu guru untuk mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi
dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimiliki dengan penerapan dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan
masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajran berlangsung alamiah dalam
bertuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari
guru ke siswa . Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.[7]
Wilson
(2002:4) mengatakan Contextual Teaching and Learning adalah konsep
belajar yang membantu pendidik mengaitkan antara materi yang diajarkannya
dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Pengetahuan dan keterampilan peserta didik
diperoleh dari usaha peserta didik mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan
keterampilan baru ketika ia belajar.
Kunandar(2010:295)
dalam The wagshinton state konsoritium for contextual teaching and learnig,
mengartikan Contextual Teaching and Learning adalah pengajaran yang
memungkinkan peserta didik memperkuat, memperluas dan menerapkan dan
keterampilan akademisnya dalam berbagai latar sekolah dan diluar sekolah
untukmemecahkan seluruh persoalan yang ada dalam dunia nyata. Pembelajaran
kontekstual menjadi ketika peserta didik menerapkan dan mengalami apa yang
diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah riil yang berasosiasi dengan peranan
dengan tanggung jawab mereka sebagi anggota keluarga, masyarakat, peserta didik
dan selaku pekerja.
Pendekatan
CTL menurut Directoret [diktorat] Jenderal Pendidikan Lanjutan Pertama Depdikna
(2002:1), disebutkan bahwa yang dimaksud dengan contextual teaching dan learning
merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan
anata pengetahuan yang dimilkinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sebagai anggota keluarga dan masyarakat.[8]
E.
Peran Serta
Masyarakat Dalam Pendidikan
Pada dasarnya setiap sekolah
mendidik anak agar menjadi anggota masyarakat yang berguna. Namun pendidikan di
sekolah sering kurang relevan dengan kehidupan masyarakat. Kurikulum kebanyakan
berpusat pada mata pelajaran yang tersusun secara logis sistematis yang tidak
nyata hubungannya dengan kehidupan sehari-hari.
Dalam melaksanakan program sekolah,
masyarakat diturut-sertakan. Tokoh-tokoh dari setiap aspek kehidupan masyarakat
seperti dari dunia perusahaan, pemerintahan, agama, politik, dan sebagainya
diminta bekerja sama dengan sekolah dalam proyek perbaikan masyarakat. Untuk
itu diperlukan masyarakat yang merasa turut bertanggung jawab atas
kesejahteraan masyarakat dan atas pendidikan anak. Sosial dan masyarakat dalam
hal ini bekerja sama dalam suatu aksi sosial.[9]
[1] Muhyi,Abd.Batubara,Sosiologi
Pendidikan.Jakarta.Ciputat Press.2004.hal 83-87
[2] Ibid. hal 89
[3] Ibid. hal 90-94
[5] Ibid. hal 95
dan 97
[6] Ibid.hal87-100
[7] Ibid. hal 101
[8] http://kadry.blogspot.com/2013/09/contextual-teaching-and-learning-ctl.html
[9] S.Nasution.Sosiologi
Pendidikan.Jakarta.PT Bumi Aksara.2009.Hal.148 dan 149
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Stakeholders pendidikan merupakan kelompok kepentingan yang akan menentukan
berbagai kebijakan di sektor pendidikan. Pendidikan saat ini tidak saja
dianggap sebagai lembaga yang hanya berperan dalam meningkatkan kecerdasan peserta
didik sehingga pihak lain tidak dapat mencampuri apalagi melakukan intervensi
terhadap kebijakan persekolahan, tetapi pada saat ini pendidikan dan lembaga
pendidikan telah dianggap sebagai
lembaga yang dapat dipengaruhi bahkan di intervensi oleh pelanggan pendidikan.
konsep MPBS sekaligus merefleksikan peran dan tanggung jawab
masing-masing pihak antara lain :
1.
Lingkungan sekolah yang aman dan tertib,
2.
Sekolah memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai,
3.
Sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat,
4.
Adanya harapan yang tinggi dari personil sekolah untuk berprestasi,
5.
Adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan
IPTEK,
6.
Adanya peleksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai
aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaaan
dan atau perbaikan mutu,
7.
Adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua siswa dan
masyarakat lainnya.
Kecakapan hidup dapat dipilah menjadi 4 jenis,
yaitu :
1.
Kecakapan
Personal (personal skill), yang mencakup kecakapan mengenal diri (self
awareness) an kecakapan berpikir rasional (thingking skill)
2.
Kecakapan
sosial (social skill)
3.
Kecakapan
akademik (akademic skill)
4.
Kecakapan
vokasional (vokasional skill)
Salah satu strategi yang dianggap konstektual dengan mendekatkan anak
didik kepada proses alamiah pembelajaran, disebut dengan pendekatan konstektual
CTL. Pendekatan CTL menurut Diktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah,
Diktorat Pendidikan Lanjut Pertama Depdiknas, disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan CTL merupakan konsep belajar yang membantu guru untuk mengaitkan antara
materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu,
hasil pembelajran berlangsung alamiah dalam bertuk kegiatan siswa bekerja dan
mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa . Strategi
pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Dalam melaksanakan program sekolah, masyarakat diturut-sertakan.
Tokoh-tokoh dari setiap aspek kehidupan masyarakat seperti dari dunia
perusahaan, pemerintahan, agama, politik, dan sebagainya diminta bekerja sama
dengan sekolah dalam proyek perbaikan masyarakat. Untuk itu diperlukan masyarakat
yang merasa turut bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat dan atas
pendidikan anak. Sosial dan masyarakat dalam hal ini bekerja sama dalam suatu
aksi sosial.
B.
Saran
Demikianlah makalah ini kami buat untuk melengkapi tugas sosiologi
pendidikan, dengan mengambil bahan dari kajian buku pustaka dan internet. Kami
sadar hanya manusia biasa yang tak pernah lepas dari khilaf, jadi jika ada
salah penulisan dan kekurangan materi kami mohon saran dan kritik yang
konstributif demi kebaikan dan kelancaran perkuliahan kita bersama dan kami
ucapkan terimakasih atas apresiasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Batubara Muhyi, Abd. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Ciputat
Press, 2004, cet. Ke-1
Nasution,S. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : PT Bumi Aksara,
2009, cet. Ke-4
Http://pkbmpls.wordpress.com/2013/09/pengertian-pendidikan-kecakapan-hidup-life-skills
http://kadry.blogspot.com/2013/09/contextual-teaching-and-learning-ctl.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan tulis opini mu disini :)