Kamis, 04 Juni 2015

TUNTUTAN STAKEHOLDER PENDIDIKAN TERHADAP PEMBAHARUAN DIMENSI SOSIAL PERSEKOLAHAN










TUGAS KELOMPOK 11

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

TUNTUTAN STAKEHOLDER PENDIDIKAN
TERHADAP PEMBAHARUAN
DIMENSI SOSIAL PERSEKOLAHAN

Oleh :
Yulia Meta Arpani (12 104 026)
Nadila Ayunda Fishka (12 104 017)
Ridhatul Fernanda (10 104 090)

Dosen Pembimbing :
Drs. Adripen,M.Pd
Gustina,M.Pd
 
Program Studi Tadris Bahasa Inggris (A)
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Batusangkar
2013 M / 1434 H
 






BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Berbicara mengenai  stakeholders sangat menarik, karena kita akan mengetahui bagaimana, pentingnya pendidikan dengan menggunakan berbagai kebijakan di sektor pendidikan. Pendidikan saat ini tidak saja dianggap sebagai lembaga yang hanya berperan dalam meningkatkan kecerdasan peserta didik sehingga pihak lain tidak dapat mencampuri apalagi melakukan  inetrvensi terhadap kebijakan persekolahan, tetapi saat ini pendidikan dan lembaga yang dapat dipengaruhi bahkan di intervensi oleh pelanggan pendidikan. Oleh karena itu makalah ini ditulis selain untuk melengkapi tugas mata kuliah sosial pendidikan juga untuk mengetahui tuntutan stakeholders pendidikan terhadap pembaharuan dimensi sosial persekolahan.

B.     Rumusan Masalah

1.      Memformulasikan akselerasi stakeholder pendidikan di persekolahan
2.      Menjelaskan prinsip-prinsip management berbasis sekolah
3.      Menjelaskan konsep live skill
4.      Menguraikan konstektual teaching and learning
5.      Peran serta masyarakat dalam pendidikan

C.    Tujuan Penulisan

1.      Sebagai pemenuhan tuntutan tugas mata kuliah Sosiologi Pendidikan
2.      Mangetahui maksud dari stake holder
3.      Mengetahui prinsip-prinsip management berbasis sekolah
4.      Mengetahui konsep live skill
5.      Mengetahui konstektual teaching and learning
6.      Mengetahui peran masyarakat dalam pendidikan



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Akselerasi Stakeholders Pendidikan di Persekolahan
Stakeholders pendidikan merupakan kelompok kepentingan yang akan menentukan berbagai kebijakan di sektor pendidikan. Pendidikan saat ini tidak saja dianggap sebagai lembaga yang hanya berperan dalam meningkatkan kecerdasan peserta didik sehingga pihak lain tidak dapat mencampuri apalagi melakukan intervensi terhadap kebijakan persekolahan, tetapi pada saat ini pendidikan dan lembaga pendidikan telah  dianggap sebagai lembaga yang dapat dipengaruhi bahkan di intervensi oleh pelanggan pendidikan.
Intervensi yang dimaksud disini adalah adanya peluang yang besar bagi kelompok kepentingan atau stakeholders dalam menentukan arah kebijakan dan segala sesuatu yang harus dilakukan oleh persekolahan. Akselerasi stakeholders pendidikan tersebut, pada dasarnya adalah untuk meningkatkan mutu layanan persekolahan terhadap masyarakat sebagai lembaga yang dapat berdiri sendiri tanpa adanya pengaruh dari pengguna persekolahan.
Posisi stakeholders pendidikan harus memperhatikan apa yang dibutuhkan serta yang diinginkannya, karena itu, persekolahan setiap saat diwajibkan mampu menjadi jembatan antara kepentingan stakeholders dengan kepentingan persekolahan tersebut.
Saat ini era globalisasi mengharuskan lulusan persekolahan dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan yang berdimensi lokal, regional dan global. Lulusan lembaga persekolahan yang tidak dapat menyesuaikan dengan era globalisasi, mengakibatkan persekolahan dianggap tidak mampu menempatkan lulusannya dalam pergaulan global. Tuntutan yang adakalanya tidak diperhatikan persekolahan inilah diharuskan inovatif dalam menyahuti tuntutan globalisasi tersebut.
Menurut Tilaar (1999:358), kondisi yang mencetuskan konsep-konsep inovasi yang dituntut dalam era globalisasi adalah :
1.      Di dalam era globalisasi kita berada di dalam suatu masyarakat yang kompetitif.
2.      Masyarakat di dalam era globalisasi menuntut kualitas yang tinggi baik di dalam jasa, barang, maupun investasi modal. Kualitas berada di atad kuantitas.
3.      Era globalisasi merupakan suatu era informasi dengan sarana-sarananya yang dikenal sebagai information superhighway.
4.      Era globalisasi merupakan era komunikasi yang sangat cepat dan canggih.
5.      Era globalisasi ditandai oleh maraknya kehidupan bisnis, oleh sebab itu kemampuan bisnis, manajer, merupakan tuntutan masyarakat masa depan.
6.      Era globalisasi merupakan era teknologi dan oleh sebab itu anggota-anggota masyarakatnya haruslah merek digital.
Konsep-konsep inovatif tersebut mau tidak mau mempengaruhi penyelenggaraan persekolahan pada saat ini. Karena itu, stakeholders pendidikan diberi peluang dan kesempatan yang luas dalam menentukan kebijakan persekolahan secara terukur dan proporsional. Tuntutan dan keinginan stakeholders tersebut secara positif mengharuskan persekolahan memiliki manajemen yang akurat dalam melihat apa sebenarnya yang dibutuhkan pelanggan pendidikan bagi masa depannya setelah menyelesaikan setiap jenjang pendidikan.[1]
B.     Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah
Manajemen pendidikan berbasis sekolah (school based management) merupakan alternative baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Indikator keberhasilan MPBS yang harus dapat diukur dan dirasakan oleh para stakeholders pendidikan adalah adanya peningkatan mutu pendidikan di sekolah.[2]
Dalam buku Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah yang dikeluarkan oleh Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Dirjen Dikdasmen, Depdiknas (1999:6-7) diungkapkan beberapa indicator yang menjadi karakteristik dari konsep MPBS sekaligus merefleksikan peran dan tanggung jawab masing-masing pihak antara lain :
1.      Lingkungan sekolah yang aman dan tertib,
2.      Sekolah memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai,
3.      Sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat,
4.      Adanya harapan yang tinggi dari personil sekolah untuk berprestasi,
5.      Adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK,
6.      Adanya peleksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaaan dan atau perbaikan mutu,
7.      Adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua siswa dan masyarakat lainnya.
MPBS harus dipersepsi sebagai alternatif pemecahan masalah rendahnya mutu pendidikan di sekolah melalui kemandirian, kreativitas, keberdayaan, dan inisiatif sekolah. Namun, perlu disadari bahwa MPBS tidak mungkin dapat mendongkrak kualitas pendidikan apabila tidak didukung faktor lainnya. Keberhasilannya sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh sejumlah faktor lainnya, yaitu :
1.      Tingkat kemampuan ekonomi masyarakat,
2.      Sosial budaya, politik,
3.      Taraf pendidikan masyarakat,
4.      Kebijakan pemerintah,
5.      Organisasi dan kepemimpinan kepala sekolah,
6.      Strategi pembelajaran dikelas,
7.      Tata laksana sekolah,
8.      Serta profesionalisme guru, dan
9.      Tenaga kependidikan lainnya.
Dalam implementasi MPBS ini sekolah  perlu melakukan perencanaan stategis, yang didasarkan pada hasil identifikasi masalah. Analisis SWOT (Strengths – Weakness – Opportunities- Threats) merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk membantu sekolah mengungkap dan mengidentifikasi permasalahan.
Sebagai tolak ukur dari keberhasilan implementasi MPBS, telah ditetapkan 16 indikator keberhasilannya meliputi :
1.      Efektifitas proses pembelajaran,
2.      Kepemimpinan sekolah yang kuat,
3.      Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif,
4.      Sekolah memiliki budaya mutu,
5.      Sekolah memiliki “team work” yangkompak, cerdas dan dinamis,
6.      Sekolah memiliki kemandirian,
7.      Partisipasi warga sekolah dan masyarakat tinggi,
8.      Sekolah memiliki transparansi,
9.      Sekolah memiliki kemauan untuk berubah, baik psikologis maupun fisik,
10.  Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan,
11.  Sekolah responsive dan antisipatif terhadap kebutuhan,
12.  Sekolah memiliki akuntabilitas,
13.  Sekolah memiliki sustainabilitas,
14.  Output adalah prestasi sekolah,
15.  Penekanan angka drop-out, dan
16.  Kepuasan staf sesuai dengan tugas dan kewenangannya.[3]

C.    Life Skill (Kecakapan Hidup)
Istilah Kecakapan Hidup (life skills) diartikan sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan penghidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya (Dirjen PLSP, Direktorat Tenaga Teknis, 2003).
Brolin (1989) menjelaskan bahwa, “Life skills constitute a continuum of knowledge and aptitude that are necessary for a person to function effectively and to avoid interruptions of employment experience”. Dengan demikian life skills dapat dinyatakan sebagai kecakapan untuk hidup. Istilah hidup, tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu saja (vocational job), namun ia harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti : membaca, menulis, menghitung, merumuskan, dan memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam tim, terus belajar di tempat kerja, mempergunakan teknologi (Satori, 2002).[4]
Secara khusus pendidikan yang berorientasi pada kecakapan hidup bertujuan untuk :
1.      Mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi,
2.      Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas, dan
3.      Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya di lingkungan sekolah, dengan memberi peluang pemanfaatan sumberdaya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah (Dirdikmenum Depdiknas, 2002:7).[5]
Kecakapan hidup dapat dipilah menjadi 4 jenis, yaitu :
1.      Kecakapan Personal (personal skill), yang mencakup kecakapan mengenal diri (self awareness) an kecakapan berpikir rasional (thingking skill)
2.      Kecakapan sosial (social skill)
3.      Kecakapan akademik (akademic skill)
4.      Kecakapan vokasional (vokasional skill)

Kecakapan mengenal diri itu pada dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, anggota masyarakat dan warga Negara, serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimilki, sekaligus menjadikannya sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi dirisendiri dan lingkungannya.
Kecakapan berpikir rasional mencakup antara lain kecakapan menggali dan menemukan informasi (information searching) , kecakapan mengolah informasi dan mengambil keputusan, serta kecakapan memecahkan masalah secara kreatif.
Kecakapn sosial atau kecakapan antar-personal (inter-personal skill) mencakup antara lain kecakapan komunikasi dengan empati, dan kecakapan bekerjasama (collaboration skill). Dua kecakapan hidup yang diuraikan di atas biasanya disebut sebagai kecakapan hidup yang bersifat umum atau kecakapan hidup generik (general life skill/GLS). Kecakapan hidup tersebut diperlukan oleh siapapun, baik mereka yang bekerja, mereka yang tidak bekerja dan mereka yang sedang menempuh pendidikan.
Kecakapan hidup yang bersifat spesifik diperlukan seseorang untuk menghadapi problema bidang khusus tertentu. Untuk mengatasi problema “mobil yang mogok” tentu diperlukan kecakapan khusus tentang mesin mobil, begitu juga dengan yang lainnya.
Kecakapan hidup yang bersifat khusus biasanya disebut juga sebagai kompetensi teknis yang terkait dengan materi mata-pelajaran atau mata-diklat tertentu dan pendekatan pembelajaranya.
Kecakapan akademik (academic skill) yang seringkali juga disebut kemampuan berpikir ilmiah pada dasarnya merupakan pengembangan dari kecakapan berpikir rasional pada GLS.
            Kecakapan vakasional seringkali disebut pula dengan ” kecakapan kejuruan”, artinya kecakapan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat.
            Aspek-aspek sosial dalam pertumbuhan dan perkembangan masyarakat menjadi kajian yang relavan terhadap berbagai persoalan yang me-merlukan solusi akurat. Hal ini tentu saja menjadi salah satu kajian yang harus dilakukan secara intensif agar lembaga persekolahan tidak mengecewakan pengguna jasanya. Karena itu, life skill atau kecakapan hidup merupakan bagian terpenting dan harus ditanamkan dalam proses pembelajaran sehingga potensi ideografik dan nomotetil peserta didik berkembang secara propesional.[6]

D.    Contextual Teaching and Learning (CTL)
Untuk meningkatkan kemampuan anak didik terhadap fenomena lingkungannya, dibutuhkan sebuah strategi pengajaran yang dapat memaksimalkan pemahaman anak dengan lingkungannya tersebut. Karena itu, pelajaran yang bersifat alamiah merupakan strategi penting agar anak didik lebih “mengalami” daripada “mengetahui”. Pentingnya mengalami daripada mengetahui tentu saja memiliki perbedaan, mengalami merupakan proses alamiah yang dirasakan dan dilakukan oleh anak didik sehingga ia dapat memaknai sebuah peristiwa secara empiris, sedangkan mengetahui cenderung diperoleh karena adanya transfer informasi dari seseorang (guru) kepada dirinya.
Salah satu strategi yang dianggap konstektual dengan mendekatkan anak didik kepada proses alamiah pembelajaran, disebut dengan pendekatan konstektual CTL. Pendekatan CTL menurut Diktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Diktorat Pendidikan Lanjut Pertama Depdiknas, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan CTL merupakan konsep belajar yang membantu guru untuk mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajran berlangsung alamiah dalam bertuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa . Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.[7]
Wilson (2002:4) mengatakan Contextual Teaching and Learning adalah konsep belajar yang membantu pendidik mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pengetahuan dan keterampilan peserta didik diperoleh dari usaha peserta didik mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru ketika ia belajar.
Kunandar(2010:295) dalam The wagshinton state konsoritium for contextual teaching and learnig, mengartikan Contextual Teaching and Learning adalah pengajaran yang memungkinkan peserta didik memperkuat, memperluas dan menerapkan dan keterampilan akademisnya dalam berbagai latar sekolah dan diluar sekolah untukmemecahkan seluruh persoalan yang ada dalam dunia nyata. Pembelajaran kontekstual menjadi ketika peserta didik menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah riil yang berasosiasi dengan peranan dengan tanggung jawab mereka sebagi anggota keluarga, masyarakat, peserta didik dan selaku pekerja.
Pendekatan CTL menurut Directoret [diktorat] Jenderal Pendidikan Lanjutan Pertama Depdikna (2002:1), disebutkan bahwa yang dimaksud dengan contextual teaching dan learning merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan anata pengetahuan yang dimilkinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.[8]

E.     Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan
Pada dasarnya setiap sekolah mendidik anak agar menjadi anggota masyarakat yang berguna. Namun pendidikan di sekolah sering kurang relevan dengan kehidupan masyarakat. Kurikulum kebanyakan berpusat pada mata pelajaran yang tersusun secara logis sistematis yang tidak nyata hubungannya dengan kehidupan sehari-hari.
Dalam melaksanakan program sekolah, masyarakat diturut-sertakan. Tokoh-tokoh dari setiap aspek kehidupan masyarakat seperti dari dunia perusahaan, pemerintahan, agama, politik, dan sebagainya diminta bekerja sama dengan sekolah dalam proyek perbaikan masyarakat. Untuk itu diperlukan masyarakat yang merasa turut bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat dan atas pendidikan anak. Sosial dan masyarakat dalam hal ini bekerja sama dalam suatu aksi sosial.[9]



[1] Muhyi,Abd.Batubara,Sosiologi Pendidikan.Jakarta.Ciputat Press.2004.hal 83-87
[2] Ibid. hal 89
[3] Ibid. hal 90-94
[4] Http://pkbmpls.wordpress.com/2013/09/pengertian-pendidikan-kecakapan-hidup-life-skills
[5] Ibid. hal 95 dan 97
[6] Ibid.hal87-100
[7] Ibid. hal 101
[8] http://kadry.blogspot.com/2013/09/contextual-teaching-and-learning-ctl.html
[9] S.Nasution.Sosiologi Pendidikan.Jakarta.PT Bumi Aksara.2009.Hal.148 dan 149



BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan

Stakeholders pendidikan merupakan kelompok kepentingan yang akan menentukan berbagai kebijakan di sektor pendidikan. Pendidikan saat ini tidak saja dianggap sebagai lembaga yang hanya berperan dalam meningkatkan kecerdasan peserta didik sehingga pihak lain tidak dapat mencampuri apalagi melakukan intervensi terhadap kebijakan persekolahan, tetapi pada saat ini pendidikan dan lembaga pendidikan telah  dianggap sebagai lembaga yang dapat dipengaruhi bahkan di intervensi oleh pelanggan pendidikan.
konsep MPBS sekaligus merefleksikan peran dan tanggung jawab masing-masing pihak antara lain :
1.      Lingkungan sekolah yang aman dan tertib,
2.      Sekolah memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai,
3.      Sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat,
4.      Adanya harapan yang tinggi dari personil sekolah untuk berprestasi,
5.      Adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK,
6.      Adanya peleksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaaan dan atau perbaikan mutu,
7.      Adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua siswa dan masyarakat lainnya.
Kecakapan hidup dapat dipilah menjadi 4 jenis, yaitu :
1.      Kecakapan Personal (personal skill), yang mencakup kecakapan mengenal diri (self awareness) an kecakapan berpikir rasional (thingking skill)
2.      Kecakapan sosial (social skill)
3.      Kecakapan akademik (akademic skill)
4.      Kecakapan vokasional (vokasional skill)

Salah satu strategi yang dianggap konstektual dengan mendekatkan anak didik kepada proses alamiah pembelajaran, disebut dengan pendekatan konstektual CTL. Pendekatan CTL menurut Diktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Diktorat Pendidikan Lanjut Pertama Depdiknas, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan CTL merupakan konsep belajar yang membantu guru untuk mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajran berlangsung alamiah dalam bertuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa . Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.

Dalam melaksanakan program sekolah, masyarakat diturut-sertakan. Tokoh-tokoh dari setiap aspek kehidupan masyarakat seperti dari dunia perusahaan, pemerintahan, agama, politik, dan sebagainya diminta bekerja sama dengan sekolah dalam proyek perbaikan masyarakat. Untuk itu diperlukan masyarakat yang merasa turut bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat dan atas pendidikan anak. Sosial dan masyarakat dalam hal ini bekerja sama dalam suatu aksi sosial.


B.     Saran
Demikianlah makalah ini kami buat untuk melengkapi tugas sosiologi pendidikan, dengan mengambil bahan dari kajian buku pustaka dan internet. Kami sadar hanya manusia biasa yang tak pernah lepas dari khilaf, jadi jika ada salah penulisan dan kekurangan materi kami mohon saran dan kritik yang konstributif demi kebaikan dan kelancaran perkuliahan kita bersama dan kami ucapkan terimakasih atas apresiasinya.
 



DAFTAR PUSTAKA

Batubara Muhyi, Abd. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Ciputat Press, 2004, cet. Ke-1
Nasution,S. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : PT Bumi Aksara, 2009, cet. Ke-4
Http://pkbmpls.wordpress.com/2013/09/pengertian-pendidikan-kecakapan-hidup-life-skills
http://kadry.blogspot.com/2013/09/contextual-teaching-and-learning-ctl.html


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tulis opini mu disini :)